Jumat, 26 Juli 2013

Bayang Hitam Di Balik G-20 ?


Pertemuan kelompok negara-negara maju dan berkembang yang tergabung di dalam G-20 yang diselenggarakan di Moskwa telah berakhir. Pada akhir pertemuan negara-negara G-20 tersebut telah disepakati sebuah rancangan strategi jangka pendek untuk menghadapi krisis global yang melanda dunia baru-baru ini. Diantara kesepakatan yang disepakati tersebut antara lain meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara. Kesepakatan ini diharapkan mampu memulihkan kembali pertumbuhan ekonomi global pasca hantaman krisis global, terutama masalah pengangguran yang timbul akaibat bangkrutnya beberapa perusahaan khususnya di negara-negara Uni Eropa baru-baru ini.

Indonesia sebagai negara anggota G-20 tentu saja terikat kepada hasil kesepakatan pertemuan G-20 di Moskwa ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil sikap terhadap hasil kesepakatan tersebut. Sikap yang akan diambil nantinya juga perlu kajian dan pertimbangan mendalam, sebab sikap yang akan diambil nantinya akan menyangkut kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Jika Indonesia gegabah dalam mengambil sikap, maka dapat dibayangkan jika masyarakat Indonesia akan seperti anak ayam yang mati di lumbung padi. Bagaimana tidak, pandangan utama dari kesepakatan G-20 di Moskwa ini adalah “menempatkan pertumbuhan ekonomi global sebagai prioritas utama ketimbang penghematan”. Dapat kita simpulkan makna dari pemikiran ini adalah meningkatkan keuntungan dari perusahaan multi nasional merupakan tujuan utama lahirnya kesepakatan ini daripada memperhatikan perekonomian nasional. Pemaknaan ini secara tersirat terlihat dari point-point kesepakatan yang ditetapkan pada pertemuan ini, yaitu meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara. Dapat kita lihat secara jelas ketekaitan anatara makna yang penulis ungkapkan sebelumnya dengan point-point tersebut, terutama pada point meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara. Pasti timbul pertanyaan pada diri pembaca, bagaimana bisa penulis berpikir seperti itu. untuk itu, izinkan penulis membahas hal tersebut lebih lanjut.

Ancaman Roh Ekonomi Pasar Bebas

Ekonomi pasar bebas/ekonomi global yang telah dihembuskan sejak awal millennium ke-21 ini merupkan sebuah tatanan ekonomi dunia baru yang dirancang oleh World Bank, IMF, dan WTO bersama dengan tingkat perekonomian maju dengan berorientasi kepada meningkatkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang mereka miliki. Salah satu target dari ekonomi pasar bebas ini adalah negara-negara berkembang yang sedang membangun perekonomian nasionalnya. Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang merupakan lahan yang potensial sebagai penyedia faktor ekonomi utama (sumber daya alam dan tenaga kerja murah) dan juga sebagai tempat pemasaran hasil produksi perusahaan milik negara-negara maju tersebut. Tahap awal untuk melancarkan konsep ekonomi pasar bebas ini adalah dengan menghantam ekonomi negara-negara berkembang tersebut melalui krisis moneter sebagaimana yang dialami Indonesia pada kurun waktu tahun 1997-1998. Dengan adanya tekanan krisis ini maka mau atau tidak mau negara-negara berkembang akan melakukan pinjaman utang kepada IMF dengan tujuan sebagai suntikan dana segar dan meredam krisis yang terjadi. Pada kesempatan ini IMF menancapkan kuku dari ekonomi global melalui persyaratan untuk mengubah hukum nasional negara debitur, khususnya yang menyangkut penanaman modal asing, tenaga kerja, perpajakan, dan aturan hukum terkait perekonomian lainnya. Dengan kondisi terjepit tersebut maka dengan terpaksa debitur menyepakati syarat tersebut meskipun pada akhirnya hal ini akan menghancurkan tatanan ekonomi nasional mereka. Kehancuran ini dapat kita lihat di Indonesia, seperti timbulnya permasalahan buruh kontrak (out sourcing), privatisasi BUMN, dan bangkrutnya perusahaan lokal. Hal ini tentu bertentangan dengan dasar konstitusi kita yang disusun dengan niat mulia oleh para the founding father sebagaimana tercantum pada tujuan negara Indonesia di dalam preambule UUD 1945 dan konsep ekonomi kerakyatan pada Pasal 33 UUD 1945. Kesemua ketentuan ini mengamanatkan bahwa seluruh potensi ekonomi yang ada diamatkan kepada negara untuk mengelolanya dan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk implementasi ini adalah upaya nasionalisasi aset kolonial Belanda yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, diantara asset yang dinasionalisasi diantaranya The Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dan nasionalisasi produk tembakau yang dijual di pasar tembakau Bremen, Jerman sehingga mengakibatkan sengketa Bremen Tobbaco Case pada tahun 1959. Lalu bagaimana dengan sekarang ?

Bumerang G-20

Menjadi anggota G-20 memang sebuah kebanggan tersendiri bagi Indonesia, terlebih lagi dengan pujian yang diberikan pada tahun 2011 yang meletakkan Indonesia sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki kekuatan ekonomi dalam menghadapi krisis global pada tahun 2010-2011. Akan tetapi perlu kita sadari apakah kita akan terbuai dengan pujian yang bersifat formil tersebut, sementara secara materil kondisi ekonomi negara ini dapat dikatakan kacau-balau. Pengangguran masih menjadi momok besar di Indonesia, konflik antara perusahaan multi nasional dengan masyarakat daerah juga menjadi konsumsi sehari-hari kita, seperti pada konflik Privot dengan masyarakat Papua. Bahkan korupsi yang menggurita saat ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya taraf ekonomi dan tingginya budaya konsumtif masyarakat Indonesia.

Kondisi tersebut akan diperparah jika pemerintah tidak bijak dalam mengambil langkah pasca lahirnya kesepakatan negara-negara G-20 di Moskwa Rusia baru-baru ini. Sebagai contoh dengan kebijakan penghapusan pajak terhadap perusahaan multi nasional akan mengamputasi income negara dari sektor pajak, sementara yang merajai ekonomi Indonesia, yang mengeruk hasil bumi, yang memburuhkan rakyat Indonesia mayoritas adalah perusahaan multi nasional. Lalu Indonesia hanya bisa gigit jari melihat kekayaannya memakmurkan bangsa asing, dan kita hanya mendapat remah-remah kemakmuran mereka. Meskipun nantinya Indonesia akan mendapatkan uang terimakasih dari pemodal asing tersebut, besarannya tidak sebanding dengan nilai kekayaan dan keringat buruh Indonesia yang telah dihisap oleh perusahaan multi nasional tersebut. Itupun jika memang seluruh tenaga kerja Indonesia dapat diterima sebagai buruh pada perusahaan tersebut, sementara tantangan membanjirnya buruh asing di Indonesia yang lebih menguasai teknologi dan skill akan menjadi tsunami tambahan yang menyengsarakan rakyat Indonesia nantinya. Sementara korupsi yang menggurita dan mentradisi di Indonesia akan melenyapkan seluruh uang terimakasih yang diberikan kepada Indonesia. Seluruh kondisi tersebut angkat menjadi ancaman nyata terlebih lagi apabila pemerintah tidak bijak dalam merancang tata ekonomi nasional kedepannya.


Pada akhirnya, penulis sangat-sangat berharap kelembutan hati pemerintah untuk mampu bersikap dengan penuh belas kasih kepada ratusan juta rakyat Indonesia. Pemerintah perlu memahami tanggung jawab utamanya untuk memakmurkan 200 juta lebih penduduk Indonesia yang memasrahkan hidupnya kepada negara Indonesia ini. Jadi pemerintah perlu memperhatikan nasib ratusan juta manusia Indonesia tersebut dan bukannya ikut memperkaya segelintir manusia yang pada dasarnya adalah pemilik modal. Indonesia adalah garuda, kendaran agung Wisnu yang bertugas melindungi rakyat dari ashura dan nagagini, bukannya memihak ashura dan nagagini tersebut.

Jumat, 19 Juli 2013

Marxisme Under Cover



Berbicara tentang Marxisme, sebenarnya ideologi  ini cukup menarik untuk dikaji sebab walaupun banyak orang maupun kelompok masyarakat yang menolak ideologi hasil pemikiran Karl Marx ini, tetapi sebanyak itu juga orang atau kelompok masyarakat yang menerima dengan tangan terbuka ideologi ini dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Marxisme lahir sebagai sebuah kritikan terhadap pemikiran kapitalisme Adam Smith yang tertuang di dalam “The Wealth of Nation”.

Marx melihat realita bahwa penerapan pemikiran kapitalisme dalam sendi kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi menyebabkan terjadinya penghisapan manusia oleh manusia. Pada masa itu dengan terciptanya mesin uap oleh James Watt maka bermunculanlah industri-industri yang melakukan produksi dalam skala besar dan berujung pada perampasan tanah masyarakat untuk dijadikan pabrik, masyarakat yang kehilangan tanah ini tidak mampu lagi untuk menggarap tanahnya sehingga mau tidak mau membludaklah permintaan untuk menjadi buruh-buruh industri ini. Kondisi miris ini malah membuat penindasan terhadap masyarakat semakin menggila, banyaknya permintaan untuk menjadi buruh dari pihak masyarakat menyebabkan kalangan pengusaha bertindak semena-mena dalam memperlakukan kelompok buruh ini.

Jam kerja yang tidak mengenal waktu istirahat, tidak adanya perhatian akan kesejahteraan buruh seperti jaminan keselamatan kerja, dan kesehatan menjadi pelengkap penderitaan kaum buruh. Dalam kondisi yang tertindas terlontar pertanyaan kepada kaum buruh tentang apa yang akan mereka lakukan dengan kondisi saat ini. Namun jawaban memilukan yang akhirnya keluar, buruh-buruh tersebut menjawab bahwa mereka hanya bisa pasrah dan berharap Tuhan akan memberikan surga dan kebahagiaan kepada mereka di surga nanti. Jawaban yang penuh rasa putus asa ini yang menjadi latar belakang Marx mengeluarkan dalil di dalam “Das Capital” bahwa  ”agama adalah candu”. Marx memandang bahwa ratapan-ratapan kaum buruh hanya diganti oleh janji-janji surga oleh pihak rohaniawan. Tindakan rohaniawan ini menurut Marx ibarat memberikan candu kepada kaum buruh. Candu yang dimaksud adalah opium, atau narkotika.

Seperti yang kita ketahui bahwa jika seseorang mengkonsumsi narkotika akan merasakan ketenangan, kedamaian, dan semua di dunia ini serba mudah serta membahagiakan. Akan tetapi setelah efek candu itu hilang maka mereka akan kembali ke alam nyata mereka yang penuh dengan himpitan penderitaan. Sehingga doktrin-doktrin kesabaran menunggu surga itu bagi Marx harus dibuang jauh-jauh dari pikiran masyarakat. masyarakat, khususnya kaum buruh harus berani melawan dan menyelesaikan masalah yang menghimpit mereka dan mereka harus berani melawan penindasan oleh kaum pemilik modal.

Dalil Marx ini yang kemudian dijadikan oleh Lenin untuk menghapuskan segala bentuk kegiatan keagamaan yang ada di Rusia saat beliau mendirikan Uni Soviet. Sebenarnya tindakan Lenin ini merupakan kesalahan penafsiran dari seorang murid terhadap ajaran gurunya. Yang selanjutnya makin diperparah oleh segala kebijakkan Josef Stalin setelah kematian Lenin.

Pengaruh Marxisme dalam Melawan Penjajahan di Dunia

Dalam sejarah dunia kita tentu sepakat bahwa keadaan penghisapan manusia oleh manusia tidak hanya terjadi dalam bentuk penindasan kelas buruh pada masa revolusi industri saja, tetapi juga terjadi dalam bentuk penjajahan. Mengutip kata dari opini “Biduk Bocor Itu Bernama Marxisme” maka penulis tidak akan jauh-jauh mengambil contoh cukup kita berkaca pada keadaan bangsa Indonesia. 450 tahun bangsa Indonesia dijajah dan dihisap segala kekayaan buminya oleh Belanda, sementara Belanda hanya meninggalkan penderitaan bagi mayoritas bangsa Indonesia, walau tidak kita elakan bahwa beberapa golongan yang mau menjadi pembantu-pembantu penjajah diberikan hak khusus untuk sedikit menikmati kesenangan. Selanjutnya 4 tahun 6 bulan Indonesia dijajah oleh Jepang yang awalnya digadang-gadangkan akan menjadi pembebas Indonesia dari penjajahan melalui slogan 3A.

Keadaan terjajah, besarnya ketimpangan sosial antara si-kaya dengan si-miskin mendorong terjadinya perlawanan dari daerah-daerah di Indonesia, tetapi perlawanan ini berujung dengan kegagalan. Baru pada tahun 1924 lahir buah pikir dari seorang pemikir besar Indonesia yang mampu menghasilkan analisa untuk mewujudkan perjuangan kemerdekaan, tokoh ini kita kenal dengan nama Tan Malaka. Melalui karyanya yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia”, “Geriliya Politik, dan Ekonomi (GERPOLEK)”  Tan Malaka menggambarkan bahwa untuk melakukan sebuah revolusi kemerdekaan dibutuhkan syarat utama yaitu persatuan tekad, lalu untuk mencapai persatuan tekad ini memerlukan 3 syarat yaitu, rakyat telah benar-benar merasa terjepit oleh penindasaan dan penderitaan, jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin sudah sangat besar, dan yang terpenting adalah momentum yang tepat untuk melakukan perjuangan.

Hal ini yang menyebabkan Tan Malaka mengecam keras tindakan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, sebab menurut beliau saat itu momentum untuk melakukan perlawanan. Maka timbul pertanyaan jika memang Marxisme yang mengajarkan perlawanan terhadap penindasan itu salah, maka apakah kita harus diam tertunduk membiarkan kita ditindas oleh penjajahan tipe baru (NEKOLIM) yang diterapkan kaum investor pemilik perusahaan multinasional, dan berarti perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan kesalahan fatal sebab penuh dengan nuansa-nuansa Marxisme.

Maka untuk mengakhiri penjabaran panjang dari tulisan ini, penulis hanya bisa berharap agar kita lebih bijaksana dalam mengambil sikap. Jika ada pemikiran yang baik yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umum apa salahnya kita coba gunakan, dan jangan sampai kita membenci sesuatu karena kabar angin, sebab perlu dingiat bahwa Antonio Gramsci dalam bukunya yang berjudul “Hegemoni dan Kekuasaan” mengatakan bahwa penguasa selalu berusaha membuat masyarakat untuk menyetujui tindakannya dengan cara menanamkan doktrin-doktrin yang dapat menjadi dasar untuk melanggengkan kekuasaannya. Akan tetapi perlu diingat, kita sebagai Bangsa yang agamis dan termasuk penulis sendiri, jangan sampai pudar jiwa spiritual keagamaan kita. Sebagaimana pernyataan Tan Malaka dalam buku “Filosofi Negara Menurut Tan Malaka”, beliau berkata “silahkan Lenin dan Stalin menghapuskan agama dari Uni Soviet, tetapi aku berasal dari keluarga yang beragama dan aku akan tetap menjadi diri ku”.

Asas-asas Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, mengandung beberapa asas pokok yang menjadi dasar ketentuan yang mengatur seputar tindakan yang dapat/boleh dilakukan di dalam konflik bersenjata. Asas-asas tersebut yaitu asas kepentingan militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas kesatriaan (chivalry). Ketiga asas ini selalu menjadi fondasi utama yang melandasi aturan-aturan  di dalam hukum humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa laws of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the connect balance between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and the other hand, military interest.[1]
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir asas kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang.
Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut :
A. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.[2]
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
1. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)


Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lainnya.
2. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)


Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung  yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.  Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud proporsional di sini "BUKAN" berarti keseimbangan.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations(Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi  “the rights of belligerents to adopt means  of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya sama dengan terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara lebih rinci di dalam Pasal 23.
B. Asas Kemanusiaan (Humanity)


Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam peperangan,  melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang WAJAR secara hukum apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer (military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang dikikir ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya jaringan tubuh manusia. Peluru tersebut disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets) karena diproduksi pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru yang memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Dekalarasi ke- III tahun 1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan ‘penderitaan yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah yang dimaksud dengan penderitaan yang tidak perlu.
C. Asas Ksatriaan (Chivalry)


Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang.
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter.  Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Hagg ke III tahun 1907 mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal. Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag ke III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag ke IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat (c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat "tidak berdaya" selagi ia menyerah atau tak mampu lagi bertempur. Namun, ternyata aturan Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan dalam pembentukan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah dapat dipastikan peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika sudah ada aturannya saja perang masih menyisakan kekejian, maka bagaimanakah  jadinya jika perang berlangsung tanpa aturan ??
Sumber :
[1] Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.

Kamis, 18 Juli 2013

KONSEP PENDIDIKAN 2013 YANG TERSESAT


Esensi Pendidikan
Menteri Pendidikan diganti, kurikulum juga diganti. Itu adalah pendapat yang saat ini mengapung di tengah masyarakat Indonesia. Pendapat ini terlontar dikarenakan kebingungan masyarakat Indonesia terhadap kurikulum pendidikan Indonesia yang tidak konsisten dan cenderung berganti-ganti pada tiap periode. Pergantian kurikulum ini mencerminkan ketidak matangan pemerintah dalam menyusun konsep pendidikan bangsa ini.
Jika berbicara pendidikan, kita tidak dapat mengenyampingkan cita-cita luhur bahwa pendidikan tidak hanya untuk merubah masa depan dan menjamin kebebebasan, akan tetapi pendidikan juga sebagai sebuah jalan untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Konsep humanisasi ini diajukan oleh Ki Hajar Dewantara selaku menteri pendidikan pertama Republik Indonesia. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi pada hakikatnya Ki Hajar Dewantara mewacanakan bahwa pendidikan bangsa Indonesia adalah usaha bangsa ini untuk membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual transeden dari sifat alami manusia. Selain itu, Ki Hajar bercita-cita melalui pendidikan bangsa ini mampu mewujudkan keadilan sosial melalui kesetaraan derajat dan penghapusan sistem feodal yang kental dengan nuansa kastanisasi. Selanjutnya melalui pendidikan juga diharapkan setiap peserta didik mampu melakukan penguasaan diri sebab menurut beliau ini adalah esensi dari pendidikan yang memanusiakan manusia tersebut. Apabila peserta didik telah mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu menentukan sikap dengan demikian akan tumbuh sikap mandiri dan dewasa di dalam diri setiap peserta didik yang pada akhirnya sangat dibutuhkan untuk membangun negara Indonesia.
Konsep Pendidikan Yang Tersesat
Selanjutnya bagaimana dengan konsep pendidikan Indonesia saat ini. Sekarang mari kita cermati konsep pendidikan saat ini, konsep pendidikan kekinian yang selalu datang silih berganti tersebut berusaha menyusun sebuah konsep pendidikan yang terfokus kepada membentuk peserta didik yang mampu diterima oleh pasar tenaga kerja dan melupakan esensi pendidikan Indonesia sebagaimana yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan dianggap berhasil apabila mampu membuat peserta didik memperoleh lapangan pekerjaan, dengan dalih ini pemerintah juga berusaha untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan anak bangsa. Hal ini tercermin kepada kebijakkan ujian nasional (UN) yang dianggap sebagai tolak ukur utama kelayakan peserta didik untuk menamatkan serta melanjutkan pendidikan. Angka-angka seolah-olah menjadi justifikasi kecerdasan seorang anak. Padahal nilai-nilai ujian yang bagus belum menjamin cerdas atau tidaknya seorang peserta didik, sebab kecerdasan itu sendiri meliputi kecerdasan kognitif, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Nilai ujian bagus hanya mewakili satu aspek kecerdasan saja dan bisa saja peserta didik yang memperoleh nilai tinggi pada kenyataannya belum kerdas dalam bersosialisasi dengan mayarakatnya serta belum mampu dewasa dalam bersikap selaku individu yang religious. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya kenakalan dan remaja, kerusakan moral akibat pergaulan bebas seperti konsumsi narkotika maupun seks bebas di kalangan remaja. Contoh-contoh tersebut merupakan bukti jika banyak anak bangsa yang disorientasi diri dan belum mampu menguasai dirinya sendiri, kesemua hal tersebut merupakan bukti nyata tidak tercapainya esensi pendidikan sebagaimana yang dicita-cita oleh Ki Hajar Dewantara. Selain itu kebijakan-kebijakan pembentukan sekolah rintisan berstandart internasional (RSBI) yang saat ini pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan RSBI bertentengan dengan UUD 1945 bertukar sampul menjadi sekolah unggul kembali menghidupkan kastanisasi pendidikan. Jika kita flash back pada zaman kolonial belanda kita mengenal adanya sekolah-sekolah pemerintah belanda yang peserta didiknya terdiri dari anak-anak eropa dan kaum bangsawan pribumi dengan segala fasilitas dan kemewahannya, serta sekolah-sekolah liar seperti sekolah Muhammadiyah dan Taman Siswa yang didirikan oleh tokoh-tokoh bangsa dengan fasilitas seadanya. Ketimpangan akses pendidikan seperti masa penjajahan tersebut yang saat ini kembali hidup melalui rancangan pendidikan yang dirancang pemerintah. Sesungguhnya ketimpangan akses ini yang sebenarnya ditentang oleh para pendiri negara Indonesia, khususnya Ki Hajar Dewantara. Sebagai contoh penentangan kastanisasi pendidikan tersebut, Ki Hajar menawarkan konsep pakaian seragam sekolah. Dengan adanya seragam sekolah Ki Hajar berharap tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin sama-sama berpakaian yang sama dan seragam, sehingga terhapuslah perbedaan kelas sosial yang ada, hal ini sesuai dengan cara tuhan memandang manusia yang tidak pernah membeda-bedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Kemudian, pendidikan generasi penerus diletakkan sebagai salah satu tujuan dan tanggung jawab negara sebagai mana termaktub di dalam pembukaan (preambule) dan batang tubuh UUD 1945.
Pada akhirnya penulis berkeinginan agar kita renungkan bersama-sama mau dijadikan seperti apa generasi bangsa ini jika kita tetap menyajikan konsep-konsep pendidikan yang tersesat seperti saat ini. Apakah kita puas dengan janji-janji kehidupan yang sejahtera, akan tetapi moral krisi nilai-nilai moral dan nilai sosial serta terjajah oleh penjajah yang bertukar nama menjadi investor asing dan perusahaan multi nasional.jika memang kita masih merasa satu bangsa dan satu filosofi Pancasila, alangkah baiknya kita tekadkan untuk mengembalikan konsep pendidikan kepada esensi awal sebagaimana yang dicita-citakan pendiri negar, khususnya Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang berkeadilan sosial bagi seluruh generasi bangsa Indonesia dan menolak iming-iming muluk yang terdapat pada konsep kurikulum pendidikan 2013.

Uang Kuliah Tunggal (UKT), Sebuah Distorsi Terhadap Akses Pendidikan Tinggi


Gembar-Gembor UKT

Memasuki tahun ajaran baru 2013/2014 kali ini, perguruan tinggi, orang tua calon mahasiswa, dan calon mahasiswa disibukkan dengan sistem pembayaran uang kuliah yang baru, yang disebut dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sebenarnya sistem pembayaran uang kuliah ini bukanlah hal baru lagi, pasalnya sistem pembayaran uang kuliah bagi peserta didik di perguruan tinggi di Indonesia ini telah dibahas dan dicanangkan sejak Juni 2012 yang lalu. Untuk itu, kali ini penulis terlebih dahulu akan menjelaskan apa sesungguhnya UKT tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 Tahun 2013 Tentang Uang Kuliah Tunggal yang dilahirkan pada tanggal 23 Mei 2013, menerangkan bahwa berdasarkan amat Pasal 88 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berwenang menyusun peraturan mengenai biaya yang ditanggung mahasiswa selama menjalani masa pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN). Adapun yang menjadi dasar penentuan besaran biaya yang akan ditanggung oleh mahasiswa tersebut merujuk pada satuan biaya operasional perguruan tinggi selama satu periode sebagamanai diatur pada Pasal 88 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Sementara Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 272/E1.1/KU/2013 tertanggal 3 April 2013 mengatur mekanisme pemungutan UKT oleh PTN dalam 5 (lima) konsep. Konsep pertama pembayaran UKT dibagi dalam 5 (lima) golongan, yang mana penggolongan ini berdasarkan status ekonomi keluarga calon mahasiswa. Konsep kedua PTN mengalokasikan quota sebesar 5% untuk golongan calon mahasiswa dari keluarga sangat miskin pada level 1 dengan pembayaran UKT sebesar Rp 0 hingga Rp 500.000. Selanjutnya PTN quota 5% untuk calon mahasiswa dari golongan miskin pada level 2 dengan pembayaran UKT Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000, dan yang terakhir Dirjen Pendidikan Tinggi membebaskan PTN untuk menyediakan quota bagi calon mahasiswa dari keluarga golongan menengah keatas hingga keluarga dari golongan elit yang semuanya di tempatkan pada level 3, level 4, dan level 5 dengan pembayaran UKT sesuai keinginan PTN yang disesuaikan dengan bukti pendapatan orang tua calon mahasiswa. Dengan formulasi tersebut, pemerintah menjanjikan akses pendidikan tinggi bagi kalangan masyarakat tidak mampu akan semakin terbuka lebar, sebab dengan mekanisme subsidi silang yang diatur di dalam mekanisme UKT biaya pendidikan akan semakin murah.

Mimpi dan Kenyataan Biaya Kuliah

Menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi merupakan impian setiap anak bangsa di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Melalui pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjanjikan biaya kuliah murah bagi calon mahasiswa yang berencana melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Akan tetapi benarkah seperti itu kenyataannya, ataukah UKT tersebut hanya distorsi di dalam akses terhadap pendidikan tinggi.

Sekarang mari kita lihat wujud sesungguhnya UKT, perlu diketahui susungguhnya UU Pendidikian Tinggi yang menjadi payung hukum UKT merupakan undang-undang yang penuh dengan kecacatan dan pengangkangan terhadap hak konstitusional warga negara Indonesia, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak. Seperti yang kita ketahui bahwa para pendiri negara Indonesia meletakkan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan negara Indonesia, sebab dengan bangsa yang cerdas maka akan terwujud kemerdekaan baik secara ekonomi, IPTEK, dan yang terpenting merdeka dari penindasan dan penghisapan antar manusia. Akan tetapi UU Pendidikan Tinggi yang merupakan sebuah karya para Mafia Berkley yang hanya menghamba pada keuntungan (kapital) membuang jauh-jauh kemanusiaan dan tujuan mulia negara tersebut dan menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor ekonomi yang tunduk pada ketentuan supply and demands sebagaimana tercantum pada perjanijian GATS yang ditandatangani pada tahun 1994. Bedasarkan kenyataan ini dapat kita lihat adanya distorsi terhadap pendidikan tinggi dan akses terhadap pendidikan tinggi. Penyimpangan pertama, penyediaan akses pendidikan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang pada hakikatnya merupakan tanggung jawab negara sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami penyimpangan dengan lahirnya Pasal 88 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Pasal ini mengatur tentang penghitungan seluruh biaya operasional perguruan tinggi oleh perguruan tinggi, yang pada akhirnya biaya operasional perguruan tinggi tersebut akan ditanggung oleh peserta didik. Secara tersirat pasal ini menegaskan jika negara telah melepaskan tanggung jawab terhadap pembiayaan institusi pendidikan tinggi. Penyimpangan kedua, dapat kita lihat dari penyedian quota bagi calon mahasiswa dari golongan keluarga sangat miskin dan keluarga miskin (level 1 dan level 2) yang hanya disediakan sebesar 5%. Dari hal ini kita dapat melihat adanya bentuk kastanisasi peserta didik di perguruan tinggi dan pembatasan akses bagi peserta didik dari kalangan tidak mampu. Penyimpangan terakhir, tidak adanya ketentuan baku bagi calon mahasiswa yang berasal dari golongan menengah hingga golongan elit. Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 272/E1.1/KU/2013 hanya menyebutkan besaran UKT yang dibayarkan oleh mereka tergantung pada pendapatan orang tua mereka. Ini menunjukkan tidak adanya kepastian jelas mengenai besaran uang yang akan dibayarkan oleh peserta didik dan dengan ketidak jelasan besaran UKT yang dibayarkan ini telah membuka peluang bagi tindakan komersialisasi bahkan korupsi di institusi perguruan tinggi, khususnya PTN.

Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa semua mekanisme UKT tersebut makin memperjelas upaya komersialisasi terhadap pendidikan tinggi. Oleh karena itu, mari kita bergerak untuk mendesak para pemimpin negara saat ini kembali kepada marwah yang menempatkan penyediaan akses pendidikan ditiap tingkat pendidikan sebagai tanggung jawab negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945 dan menghentikan penyimpangan terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Jika tidak kita, siapa lagi ??? 

Rabu, 17 Juli 2013

PERANG, HUKUM HUMANITER, DAN PERKEMBANGAN INTERNASIONAL


Peradilan militer harus didasarkan pada perkembangan-perkembangan baru dalam perkembangan hukum humaniter termasuk dalam hal penggunaan kekuatan senjata, perubahan sifat dan bentuk perang, bentuk ancaman, perkembangan teknologi, dan sistem komando, kendali, komunikasi, dan intelijen (command, control, communication, and intelligent, (C3I)).

Prinsip utama dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah bahwa selama perang nilai-nilai kemanusiaan harus dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau menggunakan kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-defence), melainkan untuk membatasi penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak berperang tersebut untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan tujuan militer. Dengan demikian hukum humaniter ditujukan untuk “melindungi beberapa kategori dari orang-orang yang tidak atau tidak lagi turut serta dalam pertempuran serta untuk membatasi alat dan cara berperang”.

Berdasarkan tujuan ini, hukum humaniter mengatur dua hal pokok yaitu: 1). memberikan alasan bahwa suatu perang dapat dijustifikasi yaitu bahwa perang adalah pilihan terakhir (the last resort), sebab atau alasan
yang benar (just cause), didasarkan atas mandat politik (keputusan politik, political authority) yang demokratis, dan untuk tujuan yang benar (right intention); 2). Membatasi penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip proporsionalitas dan diskriminasi (proportionality dan discrimination). Dua hal pokok ini yang kemudian menjadi dasar prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility) yaitu bahwa bahwa seorang komandan mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan hukum
konflik bersenjata atau hukum perang atas dasar dua hal pokok tersebut di atas. Dua prinsip penggunaan senjata ini harus menjadi bagian terpenting dalam hukum peradilan militer yaitu larangan penggunaan senjata yang menyebabkan kerusakan atau penderitaan yang tidak ada kaitan dengan tujuan-tujuan perang dan membedakan sasaran militer (combatants) dan sipil (non-combatants).

1. Prinsip proporsionalitas
Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles). Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”. Jadi yang menjadi inti masalah adalah apakah langkah atau serangan militer dengan menggunakan senjata tertentu proporsional terhadap tujuantujuan untuk memperoleh keunggulan militer. Ketentuan ini masih bisa ditafsirkan secara terbuka; ada yang mengatakan bahwa ketentuan ini tidak melarang penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan luar biasa atau meluas, melainkan hanya penderitaan atau kerusakan yang tidak perlu. Hal ini tentu menimbulkan perdebatan dari sudut pandang atau aspek kemanusiaan yaitu apakah penderitaan itu mencakup aspek fisik atau psikologis dan apakah juga mencakup pengaruh dari penderitaan dan kerusakan tersebut terhadap masyarakat.

Prinsip "unnecessary suffering" juga harus dilihat dengan membandingkan senjata yang dipakai yaitu bahwa "it is unlawful to use a weapon which causes more suffering or injury than another which offers the same or similar military advantages". Tetapi ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh prinsip di atas yaitu masalah ketersediaan senjata dan logistik yang akan dipakai. Juga harus diperhatikan bahwa semakin ke bawah rantai komando, semakin kecil atau terbatas pilihan-pilihan penggunaan senjata. Komandan atau mereka yang berada di jajaran atas rantai komando yang bertanggung jawab dalam merencanakan dan memutuskan operasi militer mempunyai opsi-opsi yang lebih luas dalam menggunakan senjata dibanding prajurit di lapangan. Masalah ini harus menjadi perhatian dalam peradilan militer, terutama ketika seorang prajurit di lapangan menghadapi tuntutan di pangadilan atas tuduhan penggunaan
senjata ilegal dalam suatu operasi militer. Masalah lain yang harus diperhatikan dalam memberi makna prinsip unnecessary suffering adalah apakah senjata itu sendiri ataukah penggunaannya pada situasi tertentu atau khusus yang membuat senjata tersebut dilarang. Kompleksitas lain adalah pada akhirnya sulit membuat penilaian tentang perimbangan atau perbandingan antara tujuan keuntungan-keuntungan militer dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan suatu senjata; serta membandingkan hasil analisa di atas dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan muncul dari penggunaan senjata alternatif.

2. Prinsip diskriminasi
Prinsip diskriminasi mengandung 3 komponen: a). larangan tentang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; b). bahkan jika target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”; c). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas. Selain itu semua senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan sipil harus dilarang. Senjata-senjata yang tingkat akurasinya rendah adalah contoh dari situasi di atas. Misalnya penggunaan Scud dalam Perang Teluk 1991.

Prinsip diskriminasi mengandung dua elemen: absolut dan relatif. Semua obyek sipil HARUS tidak pernah dijadikan sebagai target serangan. Elemen relatif adalah dengan membandingkan antara prinsip diskriminasi dan proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas penggunaan senjata harus selalu memperhatikan keseimbangan antara keuntungan-keuntungan militer dengan jumlah korban sipil yang ditimbulkan. Tetapi jika keuntungan militer tersebut bisa dicapai dengan menggunakan senjata tertentu yang bisa meminimalisir korban sipil dibandingkan dengan senjata yang lain, maka hal ini harus dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mendalam baik pada tingkat persiapan, pelaksanaan, atau bahkan penilaian untuk melihat apakah dalam situasi tertentu seorang komandan mempunyai beberapa opsi yang memungkinkannya untuk memilih penggunaan senjata dengan korban sipil yang minimal.

3. Beberapa prinsip lain yang perlu diperhatikan 
Beberapa prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah: harus memperhatikan masalah lingkungan hidup (environment). Pasal 35 (3) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected to cause widespread, long term and severe damage to the natural environment”. Semula ketentuan ini tidak dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional tentang perang. Tetapi perkembangan baru menunjukkan bahwa prinsip di atas menjadi makin kuat posisinya dalam hukum kebiasaan internasional. Akibatnya, pilihan yang tersedia bagi seorang komandan dalam melakukan operasi militer atau serangan militer harus mencakup analysis tentang kerusakan lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh serangan tersebut. Aspek lingkungan hidup juga menjadi faktor penting dalam melihat masalah proporsionalitas dalam penggunaan senjata. Hal lain adalah larangan penggunaan senjata yang mempunyai akibat berlebihan pada negara netral. Perkembangan baru menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah internasional yang makin kompleks, penggunaan senjata tertentu atau cara berperang tetap dianggap ilegal atau bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atau paling tidak menjadi perdebatan, meskipun hal itu belum atau tidak diatur dalam ketentuan hukum internasional yang sudah ada tentang penggunaan senjata. Hal ini didasarkan atas argumen bahwa: “In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose methods or means of warfare is not unlimited”. Dalam setiap sengketa bersenjata, hak para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk memilih cara dan alat berperang adalah tidak tak terbatas. Dalam kaitan ini muncul beberapa jenis persenjataan yang menjadi isu sentral dalam hukum perang dan aturan tentang penggunaan senjata: Senjata laser, ranjau darat, senjata kimia, senjata nuklir. Tulisan ini tidak akan mengupas secara rinci masalah di atas. Cukup dikemukakan bahwa batasan-batasan penggunaan senjata-senjata tertentu di atas didasarkan pada prinsip bahwa pilihan para pihak yang terlibat konflik untuk menggunakan senjata adalah terbatas karena harus ada pembedaan antara sasaran militer dan sasaran sipil dan harus proporsional untuk menghindari "unnecessary suffering".

4. Pertanggungjawaban komando (command responsibility)
Semua ketentuanketentuan di atas menjadi dasar pemberlakukan prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility). Beberapa hukum humaniter internasional tentang pertanggung jawaban komando tersebut antara lain:

a. Pasal 1 The Hague Regulations

The laws, rights, and duties of wars apply not only to armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the following conditions: 1. to be commanded by a person responsible for his subordinates; 2. to have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance; 3. to carry arms openly; and 4. to conduct their operations in accordance with the laws and customs of war.

b. Pasal 86 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Failure to Act

(1). The High Coontracting Parties and the Parties to the conflicts shall repress grave breaches, and take measures necessary to suppress all other breaches, of the Conventions or this Protocol which result from a failure to act when under a duty to do so.

(2). The fact that a breach of the Conventions or of this Protocol was committed by a subordinate does not absolve his superiors from penal or disciplinary responsibility, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they have not taken all feasible measures within their power to prevent or repress the breach.

Menurut pasal ini seorang komandan harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran atau tindakan kejahatan dalam konflik bersenjata justru karena ia TIDAK melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.

c. Pasal 87 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Duty of Commanders

(1). The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall require military commanders, with respect to members of the armed forces under their command and other persons under their control, to prevent and where necessary to, to suppress and report to competent authorities breaches of the Conventions and this Protocol;

(2) In order to prevent and suppress the breaches, High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require that, commensurate with their level of responsibility, commanders ensure that members of their armed forces under their command are aware of their obligations under the Conventions and this Protocol;

(3). The High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require any commander who is aware that subordinates or other persons under his control are going to commit or have committed a breach of the Conventions or of this Protocol, to initiate such steps as are necessary to prevent such violations of the Conventions or of this Protocol, and where appropriate, to initiate disciplinary or penal action against violator thereof.

d. Pasal 28 Statuta Roma Tahun 1998

A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where:

(a). That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that forces were committing or about to commit such crimes and;

(b). That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation of prosecution.

Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban komando di atas mengandung 3 aspek penting yang harus dipenuhi untuk menentukan seorang perwira atau komandan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan bawahannya :

1. ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb.

2. atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahan.

3. komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang berwenang.

Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas tindakan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa:

1. prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh.

2. atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat tindak kejahatan tersebut berlangsung.

3. atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.

4. atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice).

5. atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut.

SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL


Uraian mengenai sejarah hukum laut internasional perlu diawali dengan pembahasan mengenai berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai fungsi bagi umat manusia, antara lain sebagai : 1. Sumber makanan bagi umat manusia; 2. jalan raya perdagangan; 3. sarana untuk invasi/penaklukan; 4. tempat pertempuran-pertempuran; 5. tempat rekreasi; dan 6. alat pemisah atau pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), maka fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.
        Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan berbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di atas telah dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan pemamfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.
        Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu : a. Res Communis,yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara; b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan lautan tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi trhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.
         Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut diatas, tamapk bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
         Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasrkan atas konsepsi res nelius.
         Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.
         Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas-asas hukum Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi "embrio" bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial dan laut lepas.
         Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: 1. karantina; 2. bea cukai; 3. pertahanan dan netralitas
         Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan SamuderaPasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik Potugal . Pembagian Paus Alexander VI  tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
         Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
         Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup (mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth-nya lebih dikenal sebagai perintis asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)
         Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegah teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan,  penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
         Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium, di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu, sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya, khususnya Indonesia.

Pelaksanaan Hak Lintas Damai Di Laut Teritorial Menurut UNCLOS 1982

Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar, yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar (Pasal 3 United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS)). Yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut (Pasal 5 UNCLOS). Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan hukum internasional.
Akan tetapi demi menjamin hak seluruh negara di dunia dalam menikmati laut sebagai warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind) maka di dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kapal-kapal asing, sebagaimana rumusan hak lintas damai pada Konferensi Institut de Droit  yang menyatakan : kapal asing mempunyai hak lintas damai di laut wilayah suatu negara, termasuk hak untuk berhenti dan melemparkan sauh, bila terjadi insiden pelayaran atau terpaksa oleh keadaan force majeure atau dalam keadaan bahaya. Rumusan ini selanjutnya diadopsi pada Pasal 14 point 1 Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, yang berbunyi : "Subject to the provisions of these articles, ships of all States, whether coastal or not, shall enjoy the right of innocent passage throught the territorial sea".
Dalam kepustakaan hukum internasional, hak lintas damai telah melembaga dalam Konvensi Hukum lnternasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930, Namun pengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 yang dalam perkembangan selanjutnya dimuat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini. Walaupun pada umumnya ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai di laut teritorial dalam UNCLOS 1982 banyak mengadopsi dari Konvensi terdahulu, yaitu Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut. Meskipun demikian, di dalam UNCLOS 1982 juga terdapat beberapa perkembangan dalam pengaturan kebebasan berlayar atau hak-hak-lain bagi kapal-kapal asing, diantaranya lintas damai di laut territorial, lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran lnternasional, dan hak lintas melalui alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes) yang ditetapkan oleh Negara kepulauan yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan IMO (International Maritime Organisation).[1]
Pasal 17 UNCLOS 1982 memberikan hak kepada semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial. Selanjutnya, Pasal 18 point 1 UNCLOS 1982 menerangkan pengertian lintas sebagai pelayaran melalui laut teritorial untuk keperluan:
a.    Melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman; dan atau
b. Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Dalam ayat (2) ditegaskan bahwa lintas damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan  pelayaran normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa hak lintas damai merupakan[2] pemberian hak kepada kapal asing untuk melintasi  wilayah laut yang berada  dalam yurisdiksi suatu negara dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Pembatasan-pembatasan tersebut ditetapkan secara tegas dalam Pasal 19 UNCLOS 1982 dengan memberikan pengertian tentang hak lintas damai,  yaitu :
1. Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
2. Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau Keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
(a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
(b)   setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
(c)  setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
(e)   peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;
(f)   peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;
(g)  bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai;
(h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini;
(i)    setiap kegiatan perikanan;
(j)    kegiatan riset atau survey;
(k)  setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;
(l)  setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.

Dari ketentuan Pasal 19 point 1 di atas dapatlah dikemukan bahwa pertama lintasan itu damai selama tidak merugikan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Kedua, Pasal 19 point 2 menyebutkan suatu daftar tentang kegiatan-kegiatan yang menyebabkan lintas kapal asing dianggap tidak damai.

[1] Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982 Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin, Bandung, 1991, hlm.118.


 [2] Retno Windari, SH, MSc, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai Unclos 1982 Dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Jakarta, 2009, h. 29-30.