Jumat, 19 Juli 2013

Asas-asas Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, mengandung beberapa asas pokok yang menjadi dasar ketentuan yang mengatur seputar tindakan yang dapat/boleh dilakukan di dalam konflik bersenjata. Asas-asas tersebut yaitu asas kepentingan militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas kesatriaan (chivalry). Ketiga asas ini selalu menjadi fondasi utama yang melandasi aturan-aturan  di dalam hukum humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa laws of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the connect balance between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and the other hand, military interest.[1]
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir asas kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang.
Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut :
A. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.[2]
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
1. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)


Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lainnya.
2. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)


Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung  yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.  Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud proporsional di sini "BUKAN" berarti keseimbangan.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations(Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi  “the rights of belligerents to adopt means  of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya sama dengan terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara lebih rinci di dalam Pasal 23.
B. Asas Kemanusiaan (Humanity)


Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam peperangan,  melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang WAJAR secara hukum apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer (military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang dikikir ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya jaringan tubuh manusia. Peluru tersebut disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets) karena diproduksi pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru yang memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Dekalarasi ke- III tahun 1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan ‘penderitaan yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah yang dimaksud dengan penderitaan yang tidak perlu.
C. Asas Ksatriaan (Chivalry)


Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang.
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter.  Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Hagg ke III tahun 1907 mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal. Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag ke III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag ke IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat (c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat "tidak berdaya" selagi ia menyerah atau tak mampu lagi bertempur. Namun, ternyata aturan Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan dalam pembentukan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah dapat dipastikan peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika sudah ada aturannya saja perang masih menyisakan kekejian, maka bagaimanakah  jadinya jika perang berlangsung tanpa aturan ??
Sumber :
[1] Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar