Pertemuan
kelompok negara-negara maju dan berkembang yang tergabung di dalam G-20 yang
diselenggarakan di Moskwa telah berakhir. Pada akhir pertemuan negara-negara
G-20 tersebut telah disepakati sebuah rancangan strategi jangka pendek untuk
menghadapi krisis global yang melanda dunia baru-baru ini. Diantara kesepakatan
yang disepakati tersebut antara lain meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi
nasional, dan peningkatan income
perusahaan dan negara. Kesepakatan ini diharapkan mampu memulihkan kembali
pertumbuhan ekonomi global pasca hantaman krisis global, terutama masalah
pengangguran yang timbul akaibat bangkrutnya beberapa perusahaan khususnya di
negara-negara Uni Eropa baru-baru ini.
Indonesia
sebagai negara anggota G-20 tentu saja terikat kepada hasil kesepakatan
pertemuan G-20 di Moskwa ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil sikap
terhadap hasil kesepakatan tersebut. Sikap yang akan diambil nantinya juga
perlu kajian dan pertimbangan mendalam, sebab sikap yang akan diambil nantinya
akan menyangkut kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Jika Indonesia gegabah
dalam mengambil sikap, maka dapat dibayangkan jika masyarakat Indonesia akan
seperti anak ayam yang mati di lumbung padi. Bagaimana tidak, pandangan utama
dari kesepakatan G-20 di Moskwa ini adalah “menempatkan
pertumbuhan ekonomi global sebagai prioritas utama ketimbang penghematan”.
Dapat kita simpulkan makna dari pemikiran ini adalah meningkatkan keuntungan
dari perusahaan multi nasional merupakan tujuan utama lahirnya kesepakatan ini
daripada memperhatikan perekonomian nasional. Pemaknaan ini secara tersirat
terlihat dari point-point kesepakatan yang ditetapkan pada pertemuan ini, yaitu
meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan
pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara. Dapat kita
lihat secara jelas ketekaitan anatara makna yang penulis ungkapkan sebelumnya
dengan point-point tersebut, terutama pada point meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional,
dan peningkatan income perusahaan dan
negara. Pasti timbul pertanyaan pada diri pembaca, bagaimana bisa penulis
berpikir seperti itu. untuk itu, izinkan penulis membahas hal tersebut lebih
lanjut.
Ancaman Roh
Ekonomi Pasar Bebas
Ekonomi
pasar bebas/ekonomi global yang telah dihembuskan sejak awal millennium ke-21
ini merupkan sebuah tatanan ekonomi dunia baru yang dirancang oleh World Bank, IMF, dan WTO bersama dengan
tingkat perekonomian maju dengan berorientasi kepada meningkatkan keuntungan
dari perusahaan-perusahaan yang mereka miliki. Salah satu target dari ekonomi
pasar bebas ini adalah negara-negara berkembang yang sedang membangun
perekonomian nasionalnya. Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang
merupakan lahan yang potensial sebagai penyedia faktor ekonomi utama (sumber
daya alam dan tenaga kerja murah) dan juga sebagai tempat pemasaran hasil
produksi perusahaan milik negara-negara maju tersebut. Tahap awal untuk
melancarkan konsep ekonomi pasar bebas ini adalah dengan menghantam ekonomi negara-negara
berkembang tersebut melalui krisis moneter sebagaimana yang dialami Indonesia
pada kurun waktu tahun 1997-1998. Dengan adanya tekanan krisis ini maka mau
atau tidak mau negara-negara berkembang akan melakukan pinjaman utang kepada
IMF dengan tujuan sebagai suntikan dana segar dan meredam krisis yang terjadi.
Pada kesempatan ini IMF menancapkan kuku dari ekonomi global melalui
persyaratan untuk mengubah hukum nasional negara debitur, khususnya yang
menyangkut penanaman modal asing, tenaga kerja, perpajakan, dan aturan hukum
terkait perekonomian lainnya. Dengan kondisi terjepit tersebut maka dengan
terpaksa debitur menyepakati syarat tersebut meskipun pada akhirnya hal ini
akan menghancurkan tatanan ekonomi nasional mereka. Kehancuran ini dapat kita
lihat di Indonesia, seperti timbulnya permasalahan buruh kontrak (out sourcing), privatisasi BUMN, dan
bangkrutnya perusahaan lokal. Hal ini tentu bertentangan dengan dasar
konstitusi kita yang disusun dengan niat mulia oleh para the founding father sebagaimana tercantum pada tujuan negara
Indonesia di dalam preambule UUD 1945
dan konsep ekonomi kerakyatan pada Pasal 33 UUD 1945. Kesemua ketentuan ini
mengamanatkan bahwa seluruh potensi ekonomi yang ada diamatkan kepada negara untuk
mengelolanya dan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh untuk mensejahterakan
masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk implementasi ini adalah upaya
nasionalisasi aset kolonial Belanda yang dilakukan pada masa pemerintahan
Presiden Soekarno, diantara asset yang dinasionalisasi diantaranya The Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
dan nasionalisasi produk tembakau yang dijual di pasar tembakau Bremen, Jerman
sehingga mengakibatkan sengketa Bremen
Tobbaco Case pada tahun 1959. Lalu bagaimana dengan sekarang ?
Bumerang G-20
Menjadi
anggota G-20 memang sebuah kebanggan tersendiri bagi Indonesia, terlebih lagi
dengan pujian yang diberikan pada tahun 2011 yang meletakkan Indonesia sebagai
salah satu dari enam negara yang memiliki kekuatan ekonomi dalam menghadapi
krisis global pada tahun 2010-2011. Akan tetapi perlu kita sadari apakah kita
akan terbuai dengan pujian yang bersifat formil tersebut, sementara secara
materil kondisi ekonomi negara ini dapat dikatakan kacau-balau. Pengangguran
masih menjadi momok besar di Indonesia, konflik antara perusahaan multi
nasional dengan masyarakat daerah juga menjadi konsumsi sehari-hari kita,
seperti pada konflik Privot dengan masyarakat Papua. Bahkan korupsi yang
menggurita saat ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya taraf ekonomi dan
tingginya budaya konsumtif masyarakat Indonesia.
Kondisi
tersebut akan diperparah jika pemerintah tidak bijak dalam mengambil langkah
pasca lahirnya kesepakatan negara-negara G-20 di Moskwa Rusia baru-baru ini.
Sebagai contoh dengan kebijakan penghapusan pajak terhadap perusahaan multi
nasional akan mengamputasi income negara
dari sektor pajak, sementara yang merajai ekonomi Indonesia, yang mengeruk
hasil bumi, yang memburuhkan rakyat Indonesia mayoritas adalah perusahaan multi
nasional. Lalu Indonesia hanya bisa gigit jari melihat kekayaannya memakmurkan
bangsa asing, dan kita hanya mendapat remah-remah kemakmuran mereka. Meskipun
nantinya Indonesia akan mendapatkan uang terimakasih dari pemodal asing
tersebut, besarannya tidak sebanding dengan nilai kekayaan dan keringat buruh
Indonesia yang telah dihisap oleh perusahaan multi nasional tersebut. Itupun
jika memang seluruh tenaga kerja Indonesia dapat diterima sebagai buruh pada
perusahaan tersebut, sementara tantangan membanjirnya buruh asing di Indonesia
yang lebih menguasai teknologi dan skill
akan menjadi tsunami tambahan yang menyengsarakan rakyat Indonesia nantinya.
Sementara korupsi yang menggurita dan mentradisi di Indonesia akan melenyapkan
seluruh uang terimakasih yang diberikan kepada Indonesia. Seluruh kondisi
tersebut angkat menjadi ancaman nyata terlebih lagi apabila pemerintah tidak
bijak dalam merancang tata ekonomi nasional kedepannya.
Pada
akhirnya, penulis sangat-sangat berharap kelembutan hati pemerintah untuk mampu
bersikap dengan penuh belas kasih kepada ratusan juta rakyat Indonesia.
Pemerintah perlu memahami tanggung jawab utamanya untuk memakmurkan 200 juta
lebih penduduk Indonesia yang memasrahkan hidupnya kepada negara Indonesia ini.
Jadi pemerintah perlu memperhatikan nasib ratusan juta manusia Indonesia
tersebut dan bukannya ikut memperkaya segelintir manusia yang pada dasarnya
adalah pemilik modal. Indonesia adalah garuda, kendaran agung Wisnu yang
bertugas melindungi rakyat dari ashura dan nagagini, bukannya memihak ashura
dan nagagini tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar