Kamis, 18 Juli 2013

KONSEP PENDIDIKAN 2013 YANG TERSESAT


Esensi Pendidikan
Menteri Pendidikan diganti, kurikulum juga diganti. Itu adalah pendapat yang saat ini mengapung di tengah masyarakat Indonesia. Pendapat ini terlontar dikarenakan kebingungan masyarakat Indonesia terhadap kurikulum pendidikan Indonesia yang tidak konsisten dan cenderung berganti-ganti pada tiap periode. Pergantian kurikulum ini mencerminkan ketidak matangan pemerintah dalam menyusun konsep pendidikan bangsa ini.
Jika berbicara pendidikan, kita tidak dapat mengenyampingkan cita-cita luhur bahwa pendidikan tidak hanya untuk merubah masa depan dan menjamin kebebebasan, akan tetapi pendidikan juga sebagai sebuah jalan untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Konsep humanisasi ini diajukan oleh Ki Hajar Dewantara selaku menteri pendidikan pertama Republik Indonesia. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi pada hakikatnya Ki Hajar Dewantara mewacanakan bahwa pendidikan bangsa Indonesia adalah usaha bangsa ini untuk membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual transeden dari sifat alami manusia. Selain itu, Ki Hajar bercita-cita melalui pendidikan bangsa ini mampu mewujudkan keadilan sosial melalui kesetaraan derajat dan penghapusan sistem feodal yang kental dengan nuansa kastanisasi. Selanjutnya melalui pendidikan juga diharapkan setiap peserta didik mampu melakukan penguasaan diri sebab menurut beliau ini adalah esensi dari pendidikan yang memanusiakan manusia tersebut. Apabila peserta didik telah mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu menentukan sikap dengan demikian akan tumbuh sikap mandiri dan dewasa di dalam diri setiap peserta didik yang pada akhirnya sangat dibutuhkan untuk membangun negara Indonesia.
Konsep Pendidikan Yang Tersesat
Selanjutnya bagaimana dengan konsep pendidikan Indonesia saat ini. Sekarang mari kita cermati konsep pendidikan saat ini, konsep pendidikan kekinian yang selalu datang silih berganti tersebut berusaha menyusun sebuah konsep pendidikan yang terfokus kepada membentuk peserta didik yang mampu diterima oleh pasar tenaga kerja dan melupakan esensi pendidikan Indonesia sebagaimana yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan dianggap berhasil apabila mampu membuat peserta didik memperoleh lapangan pekerjaan, dengan dalih ini pemerintah juga berusaha untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan anak bangsa. Hal ini tercermin kepada kebijakkan ujian nasional (UN) yang dianggap sebagai tolak ukur utama kelayakan peserta didik untuk menamatkan serta melanjutkan pendidikan. Angka-angka seolah-olah menjadi justifikasi kecerdasan seorang anak. Padahal nilai-nilai ujian yang bagus belum menjamin cerdas atau tidaknya seorang peserta didik, sebab kecerdasan itu sendiri meliputi kecerdasan kognitif, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Nilai ujian bagus hanya mewakili satu aspek kecerdasan saja dan bisa saja peserta didik yang memperoleh nilai tinggi pada kenyataannya belum kerdas dalam bersosialisasi dengan mayarakatnya serta belum mampu dewasa dalam bersikap selaku individu yang religious. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya kenakalan dan remaja, kerusakan moral akibat pergaulan bebas seperti konsumsi narkotika maupun seks bebas di kalangan remaja. Contoh-contoh tersebut merupakan bukti jika banyak anak bangsa yang disorientasi diri dan belum mampu menguasai dirinya sendiri, kesemua hal tersebut merupakan bukti nyata tidak tercapainya esensi pendidikan sebagaimana yang dicita-cita oleh Ki Hajar Dewantara. Selain itu kebijakan-kebijakan pembentukan sekolah rintisan berstandart internasional (RSBI) yang saat ini pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan RSBI bertentengan dengan UUD 1945 bertukar sampul menjadi sekolah unggul kembali menghidupkan kastanisasi pendidikan. Jika kita flash back pada zaman kolonial belanda kita mengenal adanya sekolah-sekolah pemerintah belanda yang peserta didiknya terdiri dari anak-anak eropa dan kaum bangsawan pribumi dengan segala fasilitas dan kemewahannya, serta sekolah-sekolah liar seperti sekolah Muhammadiyah dan Taman Siswa yang didirikan oleh tokoh-tokoh bangsa dengan fasilitas seadanya. Ketimpangan akses pendidikan seperti masa penjajahan tersebut yang saat ini kembali hidup melalui rancangan pendidikan yang dirancang pemerintah. Sesungguhnya ketimpangan akses ini yang sebenarnya ditentang oleh para pendiri negara Indonesia, khususnya Ki Hajar Dewantara. Sebagai contoh penentangan kastanisasi pendidikan tersebut, Ki Hajar menawarkan konsep pakaian seragam sekolah. Dengan adanya seragam sekolah Ki Hajar berharap tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin sama-sama berpakaian yang sama dan seragam, sehingga terhapuslah perbedaan kelas sosial yang ada, hal ini sesuai dengan cara tuhan memandang manusia yang tidak pernah membeda-bedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Kemudian, pendidikan generasi penerus diletakkan sebagai salah satu tujuan dan tanggung jawab negara sebagai mana termaktub di dalam pembukaan (preambule) dan batang tubuh UUD 1945.
Pada akhirnya penulis berkeinginan agar kita renungkan bersama-sama mau dijadikan seperti apa generasi bangsa ini jika kita tetap menyajikan konsep-konsep pendidikan yang tersesat seperti saat ini. Apakah kita puas dengan janji-janji kehidupan yang sejahtera, akan tetapi moral krisi nilai-nilai moral dan nilai sosial serta terjajah oleh penjajah yang bertukar nama menjadi investor asing dan perusahaan multi nasional.jika memang kita masih merasa satu bangsa dan satu filosofi Pancasila, alangkah baiknya kita tekadkan untuk mengembalikan konsep pendidikan kepada esensi awal sebagaimana yang dicita-citakan pendiri negar, khususnya Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang berkeadilan sosial bagi seluruh generasi bangsa Indonesia dan menolak iming-iming muluk yang terdapat pada konsep kurikulum pendidikan 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar