Esensi Pendidikan
Menteri
Pendidikan diganti, kurikulum juga diganti. Itu adalah pendapat yang saat ini
mengapung di tengah masyarakat Indonesia. Pendapat ini terlontar dikarenakan
kebingungan masyarakat Indonesia terhadap kurikulum pendidikan Indonesia yang
tidak konsisten dan cenderung berganti-ganti pada tiap periode. Pergantian
kurikulum ini mencerminkan ketidak matangan pemerintah dalam menyusun konsep
pendidikan bangsa ini.
Jika
berbicara pendidikan, kita tidak dapat mengenyampingkan cita-cita luhur bahwa
pendidikan tidak hanya untuk merubah masa depan dan menjamin kebebebasan, akan
tetapi pendidikan juga sebagai sebuah jalan untuk memanusiakan manusia (humanisasi).
Konsep humanisasi ini diajukan oleh Ki Hajar Dewantara selaku menteri
pendidikan pertama Republik Indonesia. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa di
dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi
yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan.
Jadi pada hakikatnya Ki Hajar Dewantara mewacanakan bahwa pendidikan bangsa
Indonesia adalah usaha bangsa ini untuk membawa manusia keluar dari kebodohan,
dengan membuka tabir aktual transeden dari sifat alami manusia. Selain itu, Ki
Hajar bercita-cita melalui pendidikan bangsa ini mampu mewujudkan keadilan
sosial melalui kesetaraan derajat dan penghapusan sistem feodal yang kental
dengan nuansa kastanisasi. Selanjutnya melalui pendidikan juga diharapkan
setiap peserta didik mampu melakukan penguasaan diri sebab menurut beliau ini
adalah esensi dari pendidikan yang memanusiakan manusia tersebut. Apabila
peserta didik telah mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu menentukan sikap
dengan demikian akan tumbuh sikap mandiri dan dewasa di dalam diri setiap
peserta didik yang pada akhirnya sangat dibutuhkan untuk membangun negara
Indonesia.
Konsep Pendidikan Yang Tersesat
Selanjutnya
bagaimana dengan konsep pendidikan Indonesia saat ini. Sekarang mari kita cermati
konsep pendidikan saat ini, konsep pendidikan kekinian yang selalu datang silih
berganti tersebut berusaha menyusun sebuah konsep pendidikan yang terfokus
kepada membentuk peserta didik yang mampu diterima oleh pasar tenaga kerja dan
melupakan esensi pendidikan Indonesia sebagaimana yang dirumuskan oleh Ki Hajar
Dewantara. Pendidikan dianggap berhasil apabila mampu membuat peserta didik
memperoleh lapangan pekerjaan, dengan dalih ini pemerintah juga berusaha untuk
melepaskan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan anak bangsa. Hal
ini tercermin kepada kebijakkan ujian nasional (UN) yang dianggap sebagai tolak
ukur utama kelayakan peserta didik untuk menamatkan serta melanjutkan
pendidikan. Angka-angka seolah-olah menjadi justifikasi kecerdasan seorang
anak. Padahal nilai-nilai ujian yang bagus belum menjamin cerdas atau tidaknya
seorang peserta didik, sebab kecerdasan itu sendiri meliputi kecerdasan
kognitif, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Nilai ujian bagus hanya
mewakili satu aspek kecerdasan saja dan bisa saja peserta didik yang memperoleh
nilai tinggi pada kenyataannya belum kerdas dalam bersosialisasi dengan
mayarakatnya serta belum mampu dewasa dalam bersikap selaku individu yang
religious. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya kenakalan dan remaja,
kerusakan moral akibat pergaulan bebas seperti konsumsi narkotika maupun seks
bebas di kalangan remaja. Contoh-contoh tersebut merupakan bukti jika banyak
anak bangsa yang disorientasi diri dan belum mampu menguasai dirinya sendiri,
kesemua hal tersebut merupakan bukti nyata tidak tercapainya esensi pendidikan
sebagaimana yang dicita-cita oleh Ki Hajar Dewantara. Selain itu
kebijakan-kebijakan pembentukan sekolah rintisan berstandart internasional
(RSBI) yang saat ini pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan RSBI
bertentengan dengan UUD 1945 bertukar sampul menjadi sekolah unggul kembali
menghidupkan kastanisasi pendidikan. Jika kita flash back pada zaman kolonial belanda kita mengenal adanya
sekolah-sekolah pemerintah belanda yang peserta didiknya terdiri dari anak-anak
eropa dan kaum bangsawan pribumi dengan segala fasilitas dan kemewahannya,
serta sekolah-sekolah liar seperti sekolah Muhammadiyah dan Taman Siswa yang
didirikan oleh tokoh-tokoh bangsa dengan fasilitas seadanya. Ketimpangan akses
pendidikan seperti masa penjajahan tersebut yang saat ini kembali hidup melalui
rancangan pendidikan yang dirancang pemerintah. Sesungguhnya ketimpangan akses
ini yang sebenarnya ditentang oleh para pendiri negara Indonesia, khususnya Ki
Hajar Dewantara. Sebagai contoh penentangan kastanisasi pendidikan tersebut, Ki
Hajar menawarkan konsep pakaian seragam sekolah. Dengan adanya seragam sekolah
Ki Hajar berharap tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dengan si miskin.
Anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin sama-sama berpakaian yang sama
dan seragam, sehingga terhapuslah perbedaan kelas sosial yang ada, hal ini
sesuai dengan cara tuhan memandang manusia yang tidak pernah membeda-bedakan
antara manusia satu dengan yang lainnya. Kemudian, pendidikan generasi penerus
diletakkan sebagai salah satu tujuan dan tanggung jawab negara sebagai mana
termaktub di dalam pembukaan (preambule)
dan batang tubuh UUD 1945.
Pada
akhirnya penulis berkeinginan agar kita renungkan bersama-sama mau dijadikan
seperti apa generasi bangsa ini jika kita tetap menyajikan konsep-konsep
pendidikan yang tersesat seperti saat ini. Apakah kita puas dengan janji-janji
kehidupan yang sejahtera, akan tetapi moral krisi nilai-nilai moral dan nilai
sosial serta terjajah oleh penjajah yang bertukar nama menjadi investor asing
dan perusahaan multi nasional.jika memang kita masih merasa satu bangsa dan
satu filosofi Pancasila, alangkah baiknya kita tekadkan untuk mengembalikan
konsep pendidikan kepada esensi awal sebagaimana yang dicita-citakan pendiri
negar, khususnya Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang berkeadilan sosial
bagi seluruh generasi bangsa Indonesia dan menolak iming-iming muluk yang
terdapat pada konsep kurikulum pendidikan 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar