Jumat, 19 Juli 2013

Marxisme Under Cover



Berbicara tentang Marxisme, sebenarnya ideologi  ini cukup menarik untuk dikaji sebab walaupun banyak orang maupun kelompok masyarakat yang menolak ideologi hasil pemikiran Karl Marx ini, tetapi sebanyak itu juga orang atau kelompok masyarakat yang menerima dengan tangan terbuka ideologi ini dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Marxisme lahir sebagai sebuah kritikan terhadap pemikiran kapitalisme Adam Smith yang tertuang di dalam “The Wealth of Nation”.

Marx melihat realita bahwa penerapan pemikiran kapitalisme dalam sendi kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi menyebabkan terjadinya penghisapan manusia oleh manusia. Pada masa itu dengan terciptanya mesin uap oleh James Watt maka bermunculanlah industri-industri yang melakukan produksi dalam skala besar dan berujung pada perampasan tanah masyarakat untuk dijadikan pabrik, masyarakat yang kehilangan tanah ini tidak mampu lagi untuk menggarap tanahnya sehingga mau tidak mau membludaklah permintaan untuk menjadi buruh-buruh industri ini. Kondisi miris ini malah membuat penindasan terhadap masyarakat semakin menggila, banyaknya permintaan untuk menjadi buruh dari pihak masyarakat menyebabkan kalangan pengusaha bertindak semena-mena dalam memperlakukan kelompok buruh ini.

Jam kerja yang tidak mengenal waktu istirahat, tidak adanya perhatian akan kesejahteraan buruh seperti jaminan keselamatan kerja, dan kesehatan menjadi pelengkap penderitaan kaum buruh. Dalam kondisi yang tertindas terlontar pertanyaan kepada kaum buruh tentang apa yang akan mereka lakukan dengan kondisi saat ini. Namun jawaban memilukan yang akhirnya keluar, buruh-buruh tersebut menjawab bahwa mereka hanya bisa pasrah dan berharap Tuhan akan memberikan surga dan kebahagiaan kepada mereka di surga nanti. Jawaban yang penuh rasa putus asa ini yang menjadi latar belakang Marx mengeluarkan dalil di dalam “Das Capital” bahwa  ”agama adalah candu”. Marx memandang bahwa ratapan-ratapan kaum buruh hanya diganti oleh janji-janji surga oleh pihak rohaniawan. Tindakan rohaniawan ini menurut Marx ibarat memberikan candu kepada kaum buruh. Candu yang dimaksud adalah opium, atau narkotika.

Seperti yang kita ketahui bahwa jika seseorang mengkonsumsi narkotika akan merasakan ketenangan, kedamaian, dan semua di dunia ini serba mudah serta membahagiakan. Akan tetapi setelah efek candu itu hilang maka mereka akan kembali ke alam nyata mereka yang penuh dengan himpitan penderitaan. Sehingga doktrin-doktrin kesabaran menunggu surga itu bagi Marx harus dibuang jauh-jauh dari pikiran masyarakat. masyarakat, khususnya kaum buruh harus berani melawan dan menyelesaikan masalah yang menghimpit mereka dan mereka harus berani melawan penindasan oleh kaum pemilik modal.

Dalil Marx ini yang kemudian dijadikan oleh Lenin untuk menghapuskan segala bentuk kegiatan keagamaan yang ada di Rusia saat beliau mendirikan Uni Soviet. Sebenarnya tindakan Lenin ini merupakan kesalahan penafsiran dari seorang murid terhadap ajaran gurunya. Yang selanjutnya makin diperparah oleh segala kebijakkan Josef Stalin setelah kematian Lenin.

Pengaruh Marxisme dalam Melawan Penjajahan di Dunia

Dalam sejarah dunia kita tentu sepakat bahwa keadaan penghisapan manusia oleh manusia tidak hanya terjadi dalam bentuk penindasan kelas buruh pada masa revolusi industri saja, tetapi juga terjadi dalam bentuk penjajahan. Mengutip kata dari opini “Biduk Bocor Itu Bernama Marxisme” maka penulis tidak akan jauh-jauh mengambil contoh cukup kita berkaca pada keadaan bangsa Indonesia. 450 tahun bangsa Indonesia dijajah dan dihisap segala kekayaan buminya oleh Belanda, sementara Belanda hanya meninggalkan penderitaan bagi mayoritas bangsa Indonesia, walau tidak kita elakan bahwa beberapa golongan yang mau menjadi pembantu-pembantu penjajah diberikan hak khusus untuk sedikit menikmati kesenangan. Selanjutnya 4 tahun 6 bulan Indonesia dijajah oleh Jepang yang awalnya digadang-gadangkan akan menjadi pembebas Indonesia dari penjajahan melalui slogan 3A.

Keadaan terjajah, besarnya ketimpangan sosial antara si-kaya dengan si-miskin mendorong terjadinya perlawanan dari daerah-daerah di Indonesia, tetapi perlawanan ini berujung dengan kegagalan. Baru pada tahun 1924 lahir buah pikir dari seorang pemikir besar Indonesia yang mampu menghasilkan analisa untuk mewujudkan perjuangan kemerdekaan, tokoh ini kita kenal dengan nama Tan Malaka. Melalui karyanya yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia”, “Geriliya Politik, dan Ekonomi (GERPOLEK)”  Tan Malaka menggambarkan bahwa untuk melakukan sebuah revolusi kemerdekaan dibutuhkan syarat utama yaitu persatuan tekad, lalu untuk mencapai persatuan tekad ini memerlukan 3 syarat yaitu, rakyat telah benar-benar merasa terjepit oleh penindasaan dan penderitaan, jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin sudah sangat besar, dan yang terpenting adalah momentum yang tepat untuk melakukan perjuangan.

Hal ini yang menyebabkan Tan Malaka mengecam keras tindakan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, sebab menurut beliau saat itu momentum untuk melakukan perlawanan. Maka timbul pertanyaan jika memang Marxisme yang mengajarkan perlawanan terhadap penindasan itu salah, maka apakah kita harus diam tertunduk membiarkan kita ditindas oleh penjajahan tipe baru (NEKOLIM) yang diterapkan kaum investor pemilik perusahaan multinasional, dan berarti perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan kesalahan fatal sebab penuh dengan nuansa-nuansa Marxisme.

Maka untuk mengakhiri penjabaran panjang dari tulisan ini, penulis hanya bisa berharap agar kita lebih bijaksana dalam mengambil sikap. Jika ada pemikiran yang baik yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umum apa salahnya kita coba gunakan, dan jangan sampai kita membenci sesuatu karena kabar angin, sebab perlu dingiat bahwa Antonio Gramsci dalam bukunya yang berjudul “Hegemoni dan Kekuasaan” mengatakan bahwa penguasa selalu berusaha membuat masyarakat untuk menyetujui tindakannya dengan cara menanamkan doktrin-doktrin yang dapat menjadi dasar untuk melanggengkan kekuasaannya. Akan tetapi perlu diingat, kita sebagai Bangsa yang agamis dan termasuk penulis sendiri, jangan sampai pudar jiwa spiritual keagamaan kita. Sebagaimana pernyataan Tan Malaka dalam buku “Filosofi Negara Menurut Tan Malaka”, beliau berkata “silahkan Lenin dan Stalin menghapuskan agama dari Uni Soviet, tetapi aku berasal dari keluarga yang beragama dan aku akan tetap menjadi diri ku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar