Kamis, 18 Juli 2013

Uang Kuliah Tunggal (UKT), Sebuah Distorsi Terhadap Akses Pendidikan Tinggi


Gembar-Gembor UKT

Memasuki tahun ajaran baru 2013/2014 kali ini, perguruan tinggi, orang tua calon mahasiswa, dan calon mahasiswa disibukkan dengan sistem pembayaran uang kuliah yang baru, yang disebut dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sebenarnya sistem pembayaran uang kuliah ini bukanlah hal baru lagi, pasalnya sistem pembayaran uang kuliah bagi peserta didik di perguruan tinggi di Indonesia ini telah dibahas dan dicanangkan sejak Juni 2012 yang lalu. Untuk itu, kali ini penulis terlebih dahulu akan menjelaskan apa sesungguhnya UKT tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 Tahun 2013 Tentang Uang Kuliah Tunggal yang dilahirkan pada tanggal 23 Mei 2013, menerangkan bahwa berdasarkan amat Pasal 88 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berwenang menyusun peraturan mengenai biaya yang ditanggung mahasiswa selama menjalani masa pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN). Adapun yang menjadi dasar penentuan besaran biaya yang akan ditanggung oleh mahasiswa tersebut merujuk pada satuan biaya operasional perguruan tinggi selama satu periode sebagamanai diatur pada Pasal 88 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Sementara Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 272/E1.1/KU/2013 tertanggal 3 April 2013 mengatur mekanisme pemungutan UKT oleh PTN dalam 5 (lima) konsep. Konsep pertama pembayaran UKT dibagi dalam 5 (lima) golongan, yang mana penggolongan ini berdasarkan status ekonomi keluarga calon mahasiswa. Konsep kedua PTN mengalokasikan quota sebesar 5% untuk golongan calon mahasiswa dari keluarga sangat miskin pada level 1 dengan pembayaran UKT sebesar Rp 0 hingga Rp 500.000. Selanjutnya PTN quota 5% untuk calon mahasiswa dari golongan miskin pada level 2 dengan pembayaran UKT Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000, dan yang terakhir Dirjen Pendidikan Tinggi membebaskan PTN untuk menyediakan quota bagi calon mahasiswa dari keluarga golongan menengah keatas hingga keluarga dari golongan elit yang semuanya di tempatkan pada level 3, level 4, dan level 5 dengan pembayaran UKT sesuai keinginan PTN yang disesuaikan dengan bukti pendapatan orang tua calon mahasiswa. Dengan formulasi tersebut, pemerintah menjanjikan akses pendidikan tinggi bagi kalangan masyarakat tidak mampu akan semakin terbuka lebar, sebab dengan mekanisme subsidi silang yang diatur di dalam mekanisme UKT biaya pendidikan akan semakin murah.

Mimpi dan Kenyataan Biaya Kuliah

Menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi merupakan impian setiap anak bangsa di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Melalui pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjanjikan biaya kuliah murah bagi calon mahasiswa yang berencana melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Akan tetapi benarkah seperti itu kenyataannya, ataukah UKT tersebut hanya distorsi di dalam akses terhadap pendidikan tinggi.

Sekarang mari kita lihat wujud sesungguhnya UKT, perlu diketahui susungguhnya UU Pendidikian Tinggi yang menjadi payung hukum UKT merupakan undang-undang yang penuh dengan kecacatan dan pengangkangan terhadap hak konstitusional warga negara Indonesia, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak. Seperti yang kita ketahui bahwa para pendiri negara Indonesia meletakkan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan negara Indonesia, sebab dengan bangsa yang cerdas maka akan terwujud kemerdekaan baik secara ekonomi, IPTEK, dan yang terpenting merdeka dari penindasan dan penghisapan antar manusia. Akan tetapi UU Pendidikan Tinggi yang merupakan sebuah karya para Mafia Berkley yang hanya menghamba pada keuntungan (kapital) membuang jauh-jauh kemanusiaan dan tujuan mulia negara tersebut dan menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor ekonomi yang tunduk pada ketentuan supply and demands sebagaimana tercantum pada perjanijian GATS yang ditandatangani pada tahun 1994. Bedasarkan kenyataan ini dapat kita lihat adanya distorsi terhadap pendidikan tinggi dan akses terhadap pendidikan tinggi. Penyimpangan pertama, penyediaan akses pendidikan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang pada hakikatnya merupakan tanggung jawab negara sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami penyimpangan dengan lahirnya Pasal 88 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Pasal ini mengatur tentang penghitungan seluruh biaya operasional perguruan tinggi oleh perguruan tinggi, yang pada akhirnya biaya operasional perguruan tinggi tersebut akan ditanggung oleh peserta didik. Secara tersirat pasal ini menegaskan jika negara telah melepaskan tanggung jawab terhadap pembiayaan institusi pendidikan tinggi. Penyimpangan kedua, dapat kita lihat dari penyedian quota bagi calon mahasiswa dari golongan keluarga sangat miskin dan keluarga miskin (level 1 dan level 2) yang hanya disediakan sebesar 5%. Dari hal ini kita dapat melihat adanya bentuk kastanisasi peserta didik di perguruan tinggi dan pembatasan akses bagi peserta didik dari kalangan tidak mampu. Penyimpangan terakhir, tidak adanya ketentuan baku bagi calon mahasiswa yang berasal dari golongan menengah hingga golongan elit. Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 272/E1.1/KU/2013 hanya menyebutkan besaran UKT yang dibayarkan oleh mereka tergantung pada pendapatan orang tua mereka. Ini menunjukkan tidak adanya kepastian jelas mengenai besaran uang yang akan dibayarkan oleh peserta didik dan dengan ketidak jelasan besaran UKT yang dibayarkan ini telah membuka peluang bagi tindakan komersialisasi bahkan korupsi di institusi perguruan tinggi, khususnya PTN.

Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa semua mekanisme UKT tersebut makin memperjelas upaya komersialisasi terhadap pendidikan tinggi. Oleh karena itu, mari kita bergerak untuk mendesak para pemimpin negara saat ini kembali kepada marwah yang menempatkan penyediaan akses pendidikan ditiap tingkat pendidikan sebagai tanggung jawab negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945 dan menghentikan penyimpangan terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Jika tidak kita, siapa lagi ??? 

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Thanks Bro.. Tolong dishare ya, biar semua orang tau tentang bobroknya sistem komersialisasi pendidikan saat ini.

      Hapus