Rudy Cahyadi
(Pengabdi Bantuan Hukum LBH Padang)
Persoalan hukum dan sengketa merupakan permasalahan yang tidak dapat
dielakan dalam kehidupan bernegara. Kita sebagai warga Indonesia,
tidaklah pantas menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan atau yang
dikenal dengan cara hukum rimba.
Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berdasarkan kepada hukum.
Alangkah bijak, jika ada permasalahan atau sengketa diselesaikan sesuai
dengan mekanisme hukum.
Keinginan untuk menjadi warga negara yang taat hukum (law a biding
citizen) tentu ada di setiap hati masyarakat. Berbekal hal itu, kita
mampu mewujudkan ketertiban sosial.
Kini yang menjadi kendala, pertama, tidak semua dari warga negara paham
akan hukum dan mekanisme untuk menjamin hak-haknya, sehingga perlu ada
jasa pendam pingan dari orang-orang atau lembaga yang berkompeten untuk
hal tersebut.
Kedua, tidak semua dari masyarakat kita memiliki kemampuan (dana) yang
memadai untuk mendanai proses hukum yang mereka hadapi, seperti membayar
jasa pemberi bantuan hukum, membayar segala pendanaan selama proses
berjalan.
Menjawab permasalahan ini, sejak disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal
56, mengatur tentang kewajiban negara untuk menyediakan jasa bantuan
bagi masyarakat miskin.
Selain itu, masih banyak lagi undang-undang yang mengatur tentang
kewajiban negara dalam penyediaan jasa bantuan hukum bagi masyarakat
miskin. Kesemuanya tersebar di beberapa undang-undang tersebut dan
bersifat parsial dan dengan limitasi kasus yang akan diberikan bantuan
hukum.
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
harapan masyarakat miskin memperoleh hak atas akses keadilan, khususnya
hak untuk diperlakukan sama di depan hukum semakin terbuka lebar.
Lahirnya UU ini, segala limitasi dan mekanisme yang rumit terhadap
pemberian bantuan hukum dipangkas habis. Tidak hanya orang-orang yang
terancam dengan pidana yang di atas lima tahun saja yang berhak
mendapatkan bantuan hukum, tetapi semua orang miskin yang berhadapan
dengan permasalahan hukum berhak mendapatkan bantuan dan negara wajib
menganggarkan pendanaan. Sakadar contoh, Jamal yang berusia kira-kira
enam puluh tahun yang berasal dari Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten
Sijunjung.
Dia melaporkan permasalahan terkait tidak ada tindak lanjut kasus
penganiayaan dan ancaman pembunuhan yang diterimanya dari seorang
masyarakat yang merampas kebun karetnya. Kasus dilaporkan Jamal sejak
2010, tetapi hingga belum ada titik terang dan harapan dari pihak
kepolisian akan kejelasan kasusnya tersebut.
Berkebalikan dengan perlakuan kepolisian terhadap orang yang merampas
tanah Jamal, saat orang tersebut melaporkan Jamal telah melakukan
penganiayaan terhadapnya, pihak kepolisian begitu cepat dan sigap
memproses masalah dan segera memenjarakan Jamal.
Padahal, dalam konteks ini, Jamal membela diri dari ancaman pembacokan
yang akan dilakukan lawannya tersebut. Perlakuan yang diskriminatif
terlebih bagi mereka yang cacat (disabilitas) merupakan fenomena
penegakkan hukum yang sering ditemui dalam proses hukum di Indonesia.
Keadaan seperti inilah yang membutuhkan pendampingan hukum dari orang-orang yang berkompeten untuk hal ini.
Berkaca dari fenomena dan kondisi ril penegakkan hukum Indonesia yang
berat sebelah itu, berdasarkan amanat yang diberikan Undang-Undang No.
16 Tahun 2011, sangat urgen dibentuknya Peraturan Daerah di tingkat
Sumatra Barat terkait pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin.
Sebagai dasar hukum bagi pemenuhan hak-hak masyarakat miskin dalam
mengakses hak atas keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum. Agar
tidak ada lagi marginalisasi yang terjadi kepada kaum miskin.