Jumat, 22 Agustus 2014

Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin

 Rudy Cahyadi
(Pengabdi Bantuan Hukum LBH Padang)


 

Persoalan hukum dan sengketa merupakan permasalahan yang tidak dapat dielakan dalam kehidupan bernegara. Kita sebagai warga Indonesia, tidaklah pantas menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan atau yang dikenal dengan cara hukum rimba.
Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berdasarkan kepada hukum. Alangkah bijak, jika ada permasalahan atau sengketa diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum.
Keinginan untuk menjadi warga negara yang taat hukum (law a biding citizen) tentu ada di setiap hati masyarakat. Berbekal hal itu, kita mampu mewujudkan ketertiban sosial.
Kini yang menjadi kendala, pertama, tidak semua dari warga negara paham akan hukum dan mekanisme untuk menjamin hak-haknya, sehingga perlu ada jasa pendam pingan dari orang-orang atau lembaga yang berkompeten untuk hal tersebut.
Kedua, tidak semua dari masyarakat kita memiliki kemampuan (dana) yang memadai untuk mendanai proses hukum yang mereka hadapi, seperti membayar jasa pemberi bantuan hukum, membayar segala pendanaan selama proses berjalan.
Menjawab permasalahan ini, sejak disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 56, mengatur tentang kewajiban negara untuk menyediakan jasa bantuan bagi masyarakat miskin.
Selain itu, masih banyak lagi undang-undang yang mengatur tentang kewajiban negara dalam penyediaan jasa bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Kesemuanya tersebar di beberapa undang-undang tersebut dan bersifat parsial dan dengan limitasi kasus yang akan diberikan bantuan hukum.
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum harapan masyarakat miskin memperoleh hak atas akses keadilan, khususnya hak untuk diperlakukan sama di depan hukum semakin terbuka lebar.
Lahirnya UU ini, segala limitasi dan mekanisme yang rumit terhadap pemberian bantuan hukum dipangkas habis. Tidak hanya orang-orang yang terancam dengan pidana yang di atas lima tahun saja yang berhak mendapatkan bantuan hukum, tetapi semua orang miskin yang berhadapan dengan permasalahan hukum berhak mendapatkan bantuan dan negara wajib menganggarkan pendanaan. Sakadar contoh, Jamal yang berusia kira-kira enam puluh tahun yang berasal dari Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Dia melaporkan permasalahan terkait tidak ada tindak lanjut kasus penganiayaan dan ancaman pembunuhan yang diterimanya dari seorang masyarakat yang merampas kebun karetnya. Kasus dilaporkan Jamal sejak 2010, tetapi hingga belum ada titik terang dan harapan dari pihak kepolisian akan kejelasan kasusnya tersebut.
Berkebalikan dengan perlakuan kepolisian terhadap orang yang merampas tanah Jamal, saat orang tersebut melaporkan Jamal telah melakukan penganiayaan terhadapnya, pihak kepolisian begitu cepat dan sigap memproses masalah dan segera memenjarakan Jamal.
Padahal, dalam konteks ini, Jamal membela diri dari ancaman pembacokan yang akan dilakukan lawannya tersebut. Perlakuan yang diskriminatif terlebih bagi mereka yang cacat (disabilitas) merupakan fenomena penegakkan hukum yang sering ditemui dalam proses hukum di Indonesia.
Keadaan seperti inilah yang membutuhkan pendampingan hukum dari orang-orang yang berkompeten untuk hal ini.
Berkaca dari fenomena dan kondisi ril penegakkan hukum Indonesia yang berat sebelah itu, berdasarkan amanat yang diberikan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011, sangat urgen dibentuknya Peraturan Daerah di tingkat Sumatra Barat terkait pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin.
Sebagai dasar hukum bagi pemenuhan hak-hak masyarakat miskin dalam mengakses hak atas keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum. Agar tidak ada lagi marginalisasi yang terjadi kepada kaum miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar