Kamis, 02 Oktober 2014

HALIMUN KEMATIAN TAHANAN



Sudah satu minggu lebih Robbi menghembuskan nafas di kamar mandi ruang tahanan Kantor Polisi Resort (Polres) Arusoka, Solok. Mengikuti pemberitaan kematian Robbi membuat penulis teringat kisah film laga “romeo must die”, karena cinta romeo terhadap juliet menyebabkan romeo menghadapi pilihan, mati atau berpisah dari juliet. Memang background kedua cerita tersebut berbeda, akan tetapi terdapat beberapa persamaan yaitu karena cinta maka si pria harus mati. Sebagaimana diberitakan, Robbi merupakan tersangka dugaan melarikan anak di bawah umur yang merupakan kekasihnya. Pada awalnya gadis tersebut bertengkar dengan orang tuanya dan akhirnya minta untuk dilarikan oleh Robbi. Berselang beberapa waktu kemudian, gadis ditemukan oleh pihak keluarganya berada di rumah salah seorang temannya. Selanjutnya gadis ditanyai selama beberapa waktu menghilang dia bersama siapa, gadis mengakui jika selama beberapa hari dia bersama Robbi. Kondisi ini yang membuat pihak keluarga dari gadis merasa marah dan menyeret Robbi ke Polres Aru Soka untuk ditahan atas dugaan melarikan anak di bawah umur, dan berujung pada kematian Robbi pada 17 September 2014.

Kisah kematian Robbi di Polres Arusoka hanya salah satu kisah kematian tahanan selama berada dalam proses penyidikan kepolisian. Menurut data dari IPW (Indonesia Police Watch) selama tahun 2013 hingga bulan April 2014 tercatat sebanyak 44 (empat puluh empat) tahanan yang mati selama proses penahanan ditingkat penyidikan di seluruh jajaran kepolisian di Inonesia. Pada umumnya kematian tahanan tersebut disebabkan oleh bunuh diri dan sakit, yang mana untuk bunuh diri terdapat berapa metode seperti meminum racun dan gantung diri. Diantara kasus kematian tahanan yang cukup menarik adalah kematian salah seorang pelaku dugaan sodomi terhadap siswa Jakarta Intenational School (JIS) yang meregang nyawa setelah meminum pembersih lantai dan tersangka dugaan pembunuhan terhadap sopir taksi ekspress yang ditahan di Polsek Duren Sawit yang ditemukan gantung diri.

Banyaknya jumlah kasus kematian tahanan ditingkat kepolisian ini menimbulkan sebuah tanda tanya, apakah pihak kepolisian terlalu lalai sehingga tidak menerapkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Menejemen Penyidikan Tindak Pidana, atau adakah unprocedural conduct yang menyebabkan kematian tahanan ini. Jika kita merujuk kepada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012, pada Pasal 37 dikatakan bahwa proses penangkapan seorang tersangka seorang polisi wajib membawa surat perintah penangkapan yang diserahkan kepada tersangka dan juga keluarga tersangka. Setelah dilakukan penangkapan, maka dilakukan tindakan penyelidikan/penyidikan, yang mana terhadap tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan demi kepentingan proses hukum maka pihak kepolisian berhak melakukan penahanan terhadap tersangka. Untuk penahanan ini, Pasal 43 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 ini mengatur tentang teknis penahanan, yang mana terhadap tersangka yang dilakukan penahanan maka penyidik wajib memberikan surat perintah penahanan yang juga ditembuskan kepada pihak keluarga. Surat perintah penahanan ini ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik yang menyidik kasus tersebut, sehingga tanggungjawab atas kesehatan dan keselamatan tersangka berada di pihak penyidik. Selain itu, selama proses penahanan di kepolisian ini, pihak penyidik dan juga anggota kepolisian berkewajiban untuk mengawasi tindakan tersangka dan menjaga jika sewaktu-waktu kesehatan tersangka memburuk.

Selanjutnya, dalam meminta keterangan tersangka pada penyidikan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Kapolri ini melarang penyidik “...menggunakan kekerasan, tekanan atau ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku sebagai pihak yang akan menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum...”. Ketentuan ini yang selalu menjadi perdebatan ketika seorang tahanan menemui ajal di dalam tahanan kepolisian. Pada sisi masyarakat dan human rights defender memandang bahwa kematian tahanan ini disebabkan oleh tindak unprocedural conduct berupa kekerasan yang dilakukan selama proses penyidikan, di sisi lain pihak kepolisian selalu bertahan dan mencari pembenaran terkait kematian tahanan ini. Sebagai contoh, dalam kasus kematian kakak beradik Faisal dan Budri M. Zen, pihak kepolisian mengaburkan kondisi dengan mengatakan bahwa kedua tahanan ini berasal dari keluarga broken home, sehingga mereka depresi dan akhirnya memutuskan untuk gantung diri kerika proses penahanan berlangsung. Untuk kasus kematian Azwar, pihak kepolisian juga berdalih jika kematian Azwar disebabkan oleh depresi dan berujung pada tindakan bunuh diri. Sedangkan untuk kasus kematian Robbi di tahanan Polres Arusoka pihak kepolisian mencoba membangun logika bahwa Robbi melakukan bunuh diri diakibatkan tidak tahan menanggung malu karena ditahan akibat tindakan melakukan hubungan suami isteri dengan kekasihnya.

Dengan kondisi seperti ini, menurut hemat penulis sudah seharusnya Pemerintah dan Polri segera menyikapi persoalan ini baik dengan tindakan represif maupun preventif. Untuk tindakan represif dilakukan dengan menindak tegas anggota kepolisian yang terbukti melakukan tindak penyiksaan terhadap tahanan, bukan mengalihkan kepada penjatuhan sanksi disiplin saja, sebab jika dibiarkan maka akan menjadi pembelajaran dan kelaziman bagi anggota kepolisian melakukan penyiksaan selama proses penyidikan tersangka. Sedangkan untuk tindakan preventif, pihak kepolisian dapat melakukan pendidikan secara berkala tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia kepada anggotanya serta melakukan pemantauan berkala. Hasil pemantauan ini nantinya menjadi pertimbangan dalam proses kenaikan pangkat bagi anggota kepolisian. Pendidikan ini penting untuk dilakukan dengan tujuan tidak hanya untuk menanamkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, tetapi juga untuk menghapuskan pemikiran presumptio of guilty dan pidana adalah pembalasan yang selama ini menjadi mindset dalam aktifitas kepolisian khususnya penyidikan perkara. Dengan diterapkannya mekanisme ini diharapkan tidak hanya meminimalisir kasus kematian tahanan saja akan tetapi juga mampu menciptakan kepolisian yang betul-betul menjadi pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat yang menghargai setiap nyawa yang ada, sebab bagaimanapun jahatnya seseorang hanya Tuhan dan hukum yang berhak memutuskan hukuman yang tepat bagi penjahat tersebut.

(Opini ini dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspress pada Jumat, 26 September 2014)