Tanggal
3 November 2014 pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo
meluncurkan program bantuan bagi masyarakat miskin melalui 3 (tiga) jenis
kartu/diistilahkan sebagai tritura (tiga kartu untuk rakyat), yaitu kartu
keluarga sejahtera (KKS), kartu indonesia sehat (KIS), dan kartu indonesia
pintar (KIP). Program ini bertujuan untuk membantu penghidupan ekonomi
masyarakat miskin di Indonesia agar mampu memperoleh kehidupan yang layak,
akses kesehatan serta akses pendidikan. Selain itu, program tritura ini juga
direncanakan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk pengalihan subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Yang mana paling lambat pada akhir tahun 2014 subsidi BBM ini
resmi dicabut oleh pemerintah. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis
bermaksud untuk mencoba mengurai rencana pencabutan subsidi BBM dan relasinya
dengan rencana program pemerintah sehingga kita dapat memahami kondisi
Indonesia saat ini.
Rencana
pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2014 bukanlah hal baru,
beberapa bulan yang lalu ketika masa-masa akhir pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono rencana ini sempat mencuat, akan tetapi ditunda dan
pemerintah beserta DPR-RI hanya mengambil kebijakan melalui Undang-Undang No.
12 Tahun 2014 Tentang APBN Perubahan 2014 untuk memangkas anggaran subsidi BBM menjadi
350, 3 triliun rupiah dan stok/quota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kilo
liter menjadi 46 juta kilo liter. Kondisi ini yang diwarisi oleh pemerintahan
Presiden Joko Widodo dari pemerintahan sebelumnya. Untuk menyiasati kondisi ini maka pemerintah
saat ini berinisiatif untuk mengambil kebijakan yang lebih ekstrim, yaitu
dengan mecabut subsidi BBM untuk mengurangi beban APBN Indonesia dan
mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan lain, salah satunya adalah jaminan
kesejahteraan bagi masyarakat miskin yang diwujudkan melalui tiga kartu
tersebut. Namun demikian, timbul pertanyaan di dalam pikiran penulis berkaitan
dengan rencana ekstrim dari pemerintah ini. Apakah pencabutan subsidi BBM
adalah solusi satu-satunya untuk mengurangi beban APBN, dan apakah program tiga
kartu untuk rakyat (tritura) ini mampu menjawab persoalan yang akan muncul
akibat dari pencabutan subsidi BBM.
Untuk
menjawab itu, penulis akan mencoba menjabarkan pandangan penulis. Pertama,
menurut hemat penulis pencabutan subsidi BBM bukanlah satu-satunya solusi untuk
dapat mengurangi beban anggaran pada APBN Indonesia. Hal ini dapat terlihat
jika kita menghubungkan antara kebijakan yang telah ada dengan transaksi
ekonomi saat ini, sebagai contoh, hingga saat ini pemerintah belum berani
mengambil langkah untuk menaikan pajak pada sektor pertambangan, padahal secara
nyata kita lihat telah banyak kekayaan bumi Indonesia baik berupa minyak bumi,
mineral, dan batu bara yang telah digali dan dijual oleh industri pertambangan,
khususnya pertambangan skala internasional yang beroperasi di Indonesia seperti
freeport, newmont, chevron, exxon mobil,
dan belum lagi perusahaan tambang yang berskala kecil lainya. Seluruh
perusahaan tersebut telah mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil
penjualan kekayaan alam Indonesia, akan tetapi Indonesia hanya mendapat bagian
kecil dari keuntungan tersebut. Hal ini diakui langsung oleh Kementerian
Keuangan Republik Indonesia melalui kajian evaluasi tarif penerimaan negara
bukan pajak mineral dan batu bara. Di dalam evaluasi ini pemerintah menyatakan
bahwa kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan
umum dan batubara masih lebih kecil dari pada potensi yang sebenarnya.
Kementerian Keuangan mencatat perkembangan PNBP yang diperoleh negara dari
sektor pertambangan sebesar Rp 8.7 Triliun (2007), 12.5 Triliun (2008), 15.3
Triliun (2009), 18.6 Triliun (2010) dan 24.2 Triliun (2011). Sementara
penerimaan pajak sektor ini sebesar 29.3 Triliun (2007), 35,4 Triliun
(2008), 36.1 Triliun (2009), 48,3 Triliun (2010) dan 70.5 Triliun (2011).
Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
13 September 2014 yang menyatakan 50% perusahaan pertambangan yang ada di
Indonesia tidak membayar pajak royalti pertambangan.
Kedua,
berkaitan dengan peluncuran program tiga kartu untuk rakyat yaitu KKS, KIS, dan
KIP. Memang pada dasarnya pemerintah berniat baik dengan peluncuran kartu-kartu
ini maka masyarakat miskin akan terjamin untuk mengakses kesejahteraan,
kesehatan, dan pendidikan. Akan tetapi, penulis
menilai bahwa pada dasarnya program yang diluncurkan oleh pemerintah ini tidak jauh
berbeda dengan program pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM),
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Yang
mana program tersebut terbukti tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan sektor
ekonomi dan usaha kecil menengah (UKM), hal ini dikarenakan bantuan tunai yang
diberikan menjadi prioritas utama tanpa disandingkan dengan kebijakan negara
yang mampu menumbuh kembangkan sektor ekonomi dan UKM. Selain itu, seluruh program bantuan pemerintah
tersebut hanya memberikan harapan diawalnya tetapi berakhir masalah yang diakibatkan
bermasalahnya data rumah tangga miskin, sehingga bantuan ini tidak tepat
sasaran. Selain itu permasalahan data, yang juga menjadi permasalahan dalam
penyaluran dana-dana bantuan tersebut adalah tidak adanya orientasi yang jelas
dari pemerintah terkait pemberian bantuan tersebut, apakah bersifat permanen ataukah
hanya stimulus yang diikuti oleh kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat
miskin. Sehingga jika diibaratkan tindakan pemerintah ini seperti memberikan
ikan kepada masyarakat, bukannya memberikan pancing agar masyarakat dapat
mencari ikan sendiri.
Sehingga
pada akhir tulisan ini penulis berpendapat bahwa pada tahap awal ini pemerintah
seharusnya melakukan evaluasi dan pembaharuan pada kebijakan sektor
pertambangan, khususnya tarif pajak pertambangan untuk mengurangi beban APBN
Indonesia, dan bukanya mencabut subsidi BBM yang akan berakibat pada naiknya
biaya produksi, transportasi, dan konsumsi masyarakat Indonesia. Selanjutnya,
berkaitan dengan program tritura, pemerintah harus menyusun mekanisme
penyaluran dana KKS, KIS, dan KIP dengan lebih detail sehingga tidak mengulangi
kesalahan pemerintahan sebelumnya, sambil menyusun kebijakan yang pro terhadap pertumbuhan sektor ekonomi
lokal yang sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) sebagai prioritas
utama pembangunan Indonesia kedepannya.