Selasa, 11 November 2014

TRITURA (Tri Kartu Untuk Rakyat) Sesuai Dengan AMPERA ??




 

Tanggal 3 November 2014 pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo meluncurkan program bantuan bagi masyarakat miskin melalui 3 (tiga) jenis kartu/diistilahkan sebagai tritura (tiga kartu untuk rakyat), yaitu kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu indonesia sehat (KIS), dan kartu indonesia pintar (KIP). Program ini bertujuan untuk membantu penghidupan ekonomi masyarakat miskin di Indonesia agar mampu memperoleh kehidupan yang layak, akses kesehatan serta akses pendidikan. Selain itu, program tritura ini juga direncanakan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Yang mana paling lambat pada akhir tahun 2014 subsidi BBM ini resmi dicabut oleh pemerintah. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis bermaksud untuk mencoba mengurai rencana pencabutan subsidi BBM dan relasinya dengan rencana program pemerintah sehingga kita dapat memahami kondisi Indonesia saat ini.

Rencana pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2014 bukanlah hal baru, beberapa bulan yang lalu ketika masa-masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencana ini sempat mencuat, akan tetapi ditunda dan pemerintah beserta DPR-RI hanya mengambil kebijakan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2014 Tentang APBN Perubahan 2014 untuk memangkas anggaran subsidi BBM menjadi 350, 3 triliun rupiah dan stok/quota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter. Kondisi ini yang diwarisi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dari pemerintahan sebelumnya.  Untuk menyiasati kondisi ini maka pemerintah saat ini berinisiatif untuk mengambil kebijakan yang lebih ekstrim, yaitu dengan mecabut subsidi BBM untuk mengurangi beban APBN Indonesia dan mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan lain, salah satunya adalah jaminan kesejahteraan bagi masyarakat miskin yang diwujudkan melalui tiga kartu tersebut. Namun demikian, timbul pertanyaan di dalam pikiran penulis berkaitan dengan rencana ekstrim dari pemerintah ini. Apakah pencabutan subsidi BBM adalah solusi satu-satunya untuk mengurangi beban APBN, dan apakah program tiga kartu untuk rakyat (tritura) ini mampu menjawab persoalan yang akan muncul akibat dari pencabutan subsidi BBM.

Untuk menjawab itu, penulis akan mencoba menjabarkan pandangan penulis. Pertama, menurut hemat penulis pencabutan subsidi BBM bukanlah satu-satunya solusi untuk dapat mengurangi beban anggaran pada APBN Indonesia. Hal ini dapat terlihat jika kita menghubungkan antara kebijakan yang telah ada dengan transaksi ekonomi saat ini, sebagai contoh, hingga saat ini pemerintah belum berani mengambil langkah untuk menaikan pajak pada sektor pertambangan, padahal secara nyata kita lihat telah banyak kekayaan bumi Indonesia baik berupa minyak bumi, mineral, dan batu bara yang telah digali dan dijual oleh industri pertambangan, khususnya pertambangan skala internasional yang beroperasi di Indonesia seperti freeport, newmont, chevron, exxon mobil, dan belum lagi perusahaan tambang yang berskala kecil lainya. Seluruh perusahaan tersebut telah mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil penjualan kekayaan alam Indonesia, akan tetapi Indonesia hanya mendapat bagian kecil dari keuntungan tersebut. Hal ini diakui langsung oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui kajian evaluasi tarif penerimaan negara bukan pajak mineral dan batu bara. Di dalam evaluasi ini pemerintah menyatakan bahwa kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan umum  dan batubara masih lebih kecil dari pada potensi yang sebenarnya. Kementerian Keuangan mencatat perkembangan PNBP yang diperoleh negara dari sektor pertambangan sebesar Rp 8.7 Triliun (2007), 12.5 Triliun (2008), 15.3 Triliun (2009), 18.6 Triliun (2010) dan 24.2 Triliun (2011). Sementara penerimaan pajak  sektor ini sebesar 29.3 Triliun (2007), 35,4 Triliun (2008), 36.1 Triliun (2009), 48,3 Triliun (2010) dan 70.5 Triliun  (2011). Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 September 2014 yang menyatakan 50% perusahaan pertambangan yang ada di Indonesia tidak membayar pajak royalti pertambangan.

Kedua, berkaitan dengan peluncuran program tiga kartu untuk rakyat yaitu KKS, KIS, dan KIP. Memang pada dasarnya pemerintah berniat baik dengan peluncuran kartu-kartu ini maka masyarakat miskin akan terjamin untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan. Akan tetapi, penulis menilai bahwa pada dasarnya program yang diluncurkan oleh pemerintah ini tidak jauh berbeda dengan program pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Yang mana program tersebut terbukti tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi dan usaha kecil menengah (UKM), hal ini dikarenakan bantuan tunai yang diberikan menjadi prioritas utama tanpa disandingkan dengan kebijakan negara yang mampu menumbuh kembangkan sektor ekonomi dan UKM. Selain itu, seluruh program bantuan pemerintah tersebut hanya memberikan harapan diawalnya tetapi berakhir masalah yang diakibatkan bermasalahnya data rumah tangga miskin, sehingga bantuan ini tidak tepat sasaran. Selain itu permasalahan data, yang juga menjadi permasalahan dalam penyaluran dana-dana bantuan tersebut adalah tidak adanya orientasi yang jelas dari pemerintah terkait pemberian bantuan tersebut, apakah bersifat permanen ataukah hanya stimulus yang diikuti oleh kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat miskin. Sehingga jika diibaratkan tindakan pemerintah ini seperti memberikan ikan kepada masyarakat, bukannya memberikan pancing agar masyarakat dapat mencari ikan sendiri.

Sehingga pada akhir tulisan ini penulis berpendapat bahwa pada tahap awal ini pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan pembaharuan pada kebijakan sektor pertambangan, khususnya tarif pajak pertambangan untuk mengurangi beban APBN Indonesia, dan bukanya mencabut subsidi BBM yang akan berakibat pada naiknya biaya produksi, transportasi, dan konsumsi masyarakat Indonesia. Selanjutnya, berkaitan dengan program tritura, pemerintah harus menyusun mekanisme penyaluran dana KKS, KIS, dan KIP dengan lebih detail sehingga tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, sambil menyusun kebijakan  yang pro terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lokal yang sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) sebagai prioritas utama pembangunan Indonesia kedepannya.