Selasa, 11 November 2014

TRITURA (Tri Kartu Untuk Rakyat) Sesuai Dengan AMPERA ??




 

Tanggal 3 November 2014 pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo meluncurkan program bantuan bagi masyarakat miskin melalui 3 (tiga) jenis kartu/diistilahkan sebagai tritura (tiga kartu untuk rakyat), yaitu kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu indonesia sehat (KIS), dan kartu indonesia pintar (KIP). Program ini bertujuan untuk membantu penghidupan ekonomi masyarakat miskin di Indonesia agar mampu memperoleh kehidupan yang layak, akses kesehatan serta akses pendidikan. Selain itu, program tritura ini juga direncanakan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Yang mana paling lambat pada akhir tahun 2014 subsidi BBM ini resmi dicabut oleh pemerintah. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis bermaksud untuk mencoba mengurai rencana pencabutan subsidi BBM dan relasinya dengan rencana program pemerintah sehingga kita dapat memahami kondisi Indonesia saat ini.

Rencana pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2014 bukanlah hal baru, beberapa bulan yang lalu ketika masa-masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencana ini sempat mencuat, akan tetapi ditunda dan pemerintah beserta DPR-RI hanya mengambil kebijakan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2014 Tentang APBN Perubahan 2014 untuk memangkas anggaran subsidi BBM menjadi 350, 3 triliun rupiah dan stok/quota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter. Kondisi ini yang diwarisi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dari pemerintahan sebelumnya.  Untuk menyiasati kondisi ini maka pemerintah saat ini berinisiatif untuk mengambil kebijakan yang lebih ekstrim, yaitu dengan mecabut subsidi BBM untuk mengurangi beban APBN Indonesia dan mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan lain, salah satunya adalah jaminan kesejahteraan bagi masyarakat miskin yang diwujudkan melalui tiga kartu tersebut. Namun demikian, timbul pertanyaan di dalam pikiran penulis berkaitan dengan rencana ekstrim dari pemerintah ini. Apakah pencabutan subsidi BBM adalah solusi satu-satunya untuk mengurangi beban APBN, dan apakah program tiga kartu untuk rakyat (tritura) ini mampu menjawab persoalan yang akan muncul akibat dari pencabutan subsidi BBM.

Untuk menjawab itu, penulis akan mencoba menjabarkan pandangan penulis. Pertama, menurut hemat penulis pencabutan subsidi BBM bukanlah satu-satunya solusi untuk dapat mengurangi beban anggaran pada APBN Indonesia. Hal ini dapat terlihat jika kita menghubungkan antara kebijakan yang telah ada dengan transaksi ekonomi saat ini, sebagai contoh, hingga saat ini pemerintah belum berani mengambil langkah untuk menaikan pajak pada sektor pertambangan, padahal secara nyata kita lihat telah banyak kekayaan bumi Indonesia baik berupa minyak bumi, mineral, dan batu bara yang telah digali dan dijual oleh industri pertambangan, khususnya pertambangan skala internasional yang beroperasi di Indonesia seperti freeport, newmont, chevron, exxon mobil, dan belum lagi perusahaan tambang yang berskala kecil lainya. Seluruh perusahaan tersebut telah mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil penjualan kekayaan alam Indonesia, akan tetapi Indonesia hanya mendapat bagian kecil dari keuntungan tersebut. Hal ini diakui langsung oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui kajian evaluasi tarif penerimaan negara bukan pajak mineral dan batu bara. Di dalam evaluasi ini pemerintah menyatakan bahwa kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan umum  dan batubara masih lebih kecil dari pada potensi yang sebenarnya. Kementerian Keuangan mencatat perkembangan PNBP yang diperoleh negara dari sektor pertambangan sebesar Rp 8.7 Triliun (2007), 12.5 Triliun (2008), 15.3 Triliun (2009), 18.6 Triliun (2010) dan 24.2 Triliun (2011). Sementara penerimaan pajak  sektor ini sebesar 29.3 Triliun (2007), 35,4 Triliun (2008), 36.1 Triliun (2009), 48,3 Triliun (2010) dan 70.5 Triliun  (2011). Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 September 2014 yang menyatakan 50% perusahaan pertambangan yang ada di Indonesia tidak membayar pajak royalti pertambangan.

Kedua, berkaitan dengan peluncuran program tiga kartu untuk rakyat yaitu KKS, KIS, dan KIP. Memang pada dasarnya pemerintah berniat baik dengan peluncuran kartu-kartu ini maka masyarakat miskin akan terjamin untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan. Akan tetapi, penulis menilai bahwa pada dasarnya program yang diluncurkan oleh pemerintah ini tidak jauh berbeda dengan program pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Yang mana program tersebut terbukti tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi dan usaha kecil menengah (UKM), hal ini dikarenakan bantuan tunai yang diberikan menjadi prioritas utama tanpa disandingkan dengan kebijakan negara yang mampu menumbuh kembangkan sektor ekonomi dan UKM. Selain itu, seluruh program bantuan pemerintah tersebut hanya memberikan harapan diawalnya tetapi berakhir masalah yang diakibatkan bermasalahnya data rumah tangga miskin, sehingga bantuan ini tidak tepat sasaran. Selain itu permasalahan data, yang juga menjadi permasalahan dalam penyaluran dana-dana bantuan tersebut adalah tidak adanya orientasi yang jelas dari pemerintah terkait pemberian bantuan tersebut, apakah bersifat permanen ataukah hanya stimulus yang diikuti oleh kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat miskin. Sehingga jika diibaratkan tindakan pemerintah ini seperti memberikan ikan kepada masyarakat, bukannya memberikan pancing agar masyarakat dapat mencari ikan sendiri.

Sehingga pada akhir tulisan ini penulis berpendapat bahwa pada tahap awal ini pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan pembaharuan pada kebijakan sektor pertambangan, khususnya tarif pajak pertambangan untuk mengurangi beban APBN Indonesia, dan bukanya mencabut subsidi BBM yang akan berakibat pada naiknya biaya produksi, transportasi, dan konsumsi masyarakat Indonesia. Selanjutnya, berkaitan dengan program tritura, pemerintah harus menyusun mekanisme penyaluran dana KKS, KIS, dan KIP dengan lebih detail sehingga tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, sambil menyusun kebijakan  yang pro terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lokal yang sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) sebagai prioritas utama pembangunan Indonesia kedepannya.

Kamis, 02 Oktober 2014

HALIMUN KEMATIAN TAHANAN



Sudah satu minggu lebih Robbi menghembuskan nafas di kamar mandi ruang tahanan Kantor Polisi Resort (Polres) Arusoka, Solok. Mengikuti pemberitaan kematian Robbi membuat penulis teringat kisah film laga “romeo must die”, karena cinta romeo terhadap juliet menyebabkan romeo menghadapi pilihan, mati atau berpisah dari juliet. Memang background kedua cerita tersebut berbeda, akan tetapi terdapat beberapa persamaan yaitu karena cinta maka si pria harus mati. Sebagaimana diberitakan, Robbi merupakan tersangka dugaan melarikan anak di bawah umur yang merupakan kekasihnya. Pada awalnya gadis tersebut bertengkar dengan orang tuanya dan akhirnya minta untuk dilarikan oleh Robbi. Berselang beberapa waktu kemudian, gadis ditemukan oleh pihak keluarganya berada di rumah salah seorang temannya. Selanjutnya gadis ditanyai selama beberapa waktu menghilang dia bersama siapa, gadis mengakui jika selama beberapa hari dia bersama Robbi. Kondisi ini yang membuat pihak keluarga dari gadis merasa marah dan menyeret Robbi ke Polres Aru Soka untuk ditahan atas dugaan melarikan anak di bawah umur, dan berujung pada kematian Robbi pada 17 September 2014.

Kisah kematian Robbi di Polres Arusoka hanya salah satu kisah kematian tahanan selama berada dalam proses penyidikan kepolisian. Menurut data dari IPW (Indonesia Police Watch) selama tahun 2013 hingga bulan April 2014 tercatat sebanyak 44 (empat puluh empat) tahanan yang mati selama proses penahanan ditingkat penyidikan di seluruh jajaran kepolisian di Inonesia. Pada umumnya kematian tahanan tersebut disebabkan oleh bunuh diri dan sakit, yang mana untuk bunuh diri terdapat berapa metode seperti meminum racun dan gantung diri. Diantara kasus kematian tahanan yang cukup menarik adalah kematian salah seorang pelaku dugaan sodomi terhadap siswa Jakarta Intenational School (JIS) yang meregang nyawa setelah meminum pembersih lantai dan tersangka dugaan pembunuhan terhadap sopir taksi ekspress yang ditahan di Polsek Duren Sawit yang ditemukan gantung diri.

Banyaknya jumlah kasus kematian tahanan ditingkat kepolisian ini menimbulkan sebuah tanda tanya, apakah pihak kepolisian terlalu lalai sehingga tidak menerapkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Menejemen Penyidikan Tindak Pidana, atau adakah unprocedural conduct yang menyebabkan kematian tahanan ini. Jika kita merujuk kepada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012, pada Pasal 37 dikatakan bahwa proses penangkapan seorang tersangka seorang polisi wajib membawa surat perintah penangkapan yang diserahkan kepada tersangka dan juga keluarga tersangka. Setelah dilakukan penangkapan, maka dilakukan tindakan penyelidikan/penyidikan, yang mana terhadap tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan demi kepentingan proses hukum maka pihak kepolisian berhak melakukan penahanan terhadap tersangka. Untuk penahanan ini, Pasal 43 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 ini mengatur tentang teknis penahanan, yang mana terhadap tersangka yang dilakukan penahanan maka penyidik wajib memberikan surat perintah penahanan yang juga ditembuskan kepada pihak keluarga. Surat perintah penahanan ini ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik yang menyidik kasus tersebut, sehingga tanggungjawab atas kesehatan dan keselamatan tersangka berada di pihak penyidik. Selain itu, selama proses penahanan di kepolisian ini, pihak penyidik dan juga anggota kepolisian berkewajiban untuk mengawasi tindakan tersangka dan menjaga jika sewaktu-waktu kesehatan tersangka memburuk.

Selanjutnya, dalam meminta keterangan tersangka pada penyidikan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Kapolri ini melarang penyidik “...menggunakan kekerasan, tekanan atau ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku sebagai pihak yang akan menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum...”. Ketentuan ini yang selalu menjadi perdebatan ketika seorang tahanan menemui ajal di dalam tahanan kepolisian. Pada sisi masyarakat dan human rights defender memandang bahwa kematian tahanan ini disebabkan oleh tindak unprocedural conduct berupa kekerasan yang dilakukan selama proses penyidikan, di sisi lain pihak kepolisian selalu bertahan dan mencari pembenaran terkait kematian tahanan ini. Sebagai contoh, dalam kasus kematian kakak beradik Faisal dan Budri M. Zen, pihak kepolisian mengaburkan kondisi dengan mengatakan bahwa kedua tahanan ini berasal dari keluarga broken home, sehingga mereka depresi dan akhirnya memutuskan untuk gantung diri kerika proses penahanan berlangsung. Untuk kasus kematian Azwar, pihak kepolisian juga berdalih jika kematian Azwar disebabkan oleh depresi dan berujung pada tindakan bunuh diri. Sedangkan untuk kasus kematian Robbi di tahanan Polres Arusoka pihak kepolisian mencoba membangun logika bahwa Robbi melakukan bunuh diri diakibatkan tidak tahan menanggung malu karena ditahan akibat tindakan melakukan hubungan suami isteri dengan kekasihnya.

Dengan kondisi seperti ini, menurut hemat penulis sudah seharusnya Pemerintah dan Polri segera menyikapi persoalan ini baik dengan tindakan represif maupun preventif. Untuk tindakan represif dilakukan dengan menindak tegas anggota kepolisian yang terbukti melakukan tindak penyiksaan terhadap tahanan, bukan mengalihkan kepada penjatuhan sanksi disiplin saja, sebab jika dibiarkan maka akan menjadi pembelajaran dan kelaziman bagi anggota kepolisian melakukan penyiksaan selama proses penyidikan tersangka. Sedangkan untuk tindakan preventif, pihak kepolisian dapat melakukan pendidikan secara berkala tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia kepada anggotanya serta melakukan pemantauan berkala. Hasil pemantauan ini nantinya menjadi pertimbangan dalam proses kenaikan pangkat bagi anggota kepolisian. Pendidikan ini penting untuk dilakukan dengan tujuan tidak hanya untuk menanamkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, tetapi juga untuk menghapuskan pemikiran presumptio of guilty dan pidana adalah pembalasan yang selama ini menjadi mindset dalam aktifitas kepolisian khususnya penyidikan perkara. Dengan diterapkannya mekanisme ini diharapkan tidak hanya meminimalisir kasus kematian tahanan saja akan tetapi juga mampu menciptakan kepolisian yang betul-betul menjadi pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat yang menghargai setiap nyawa yang ada, sebab bagaimanapun jahatnya seseorang hanya Tuhan dan hukum yang berhak memutuskan hukuman yang tepat bagi penjahat tersebut.

(Opini ini dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspress pada Jumat, 26 September 2014)

Sabtu, 23 Agustus 2014

MOESATSU CLOTHING : Anime, Religi, and Your Own Desain


ATTENTIONS !!
 
Untuk kalian kaula muda pecinta anime, ataupun kalian yang memiliki ide-ide kratif untuk mewarnai hari kalian. Kami hadir untuk mewujudkan impian itu.

Kalian bisa memesan kaos dengan desain yang kalian suka, mulai dari tokoh anime kesukaan kalian maupun desain gambar hasil kreasi kalian semua.  Kalian bisa memesan untuk baju kelas, baju angkatan, baju pania Festival Seni, Tim Futsal kesayangan kalian, atau Genk kalian biar lebih kompak dan keren.

Kami menyediakan segala ukuran, dengan bahan kain TC dan Carded.

Jadi, SEGERA kalian pesan ke kontak yang kami sediakan, biar impian dan ide briliant kalian bisa mengikat kekompakan kalian semua...  ^_^ 

Jumat, 22 Agustus 2014

Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin

 Rudy Cahyadi
(Pengabdi Bantuan Hukum LBH Padang)


 

Persoalan hukum dan sengketa merupakan permasalahan yang tidak dapat dielakan dalam kehidupan bernegara. Kita sebagai warga Indonesia, tidaklah pantas menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan atau yang dikenal dengan cara hukum rimba.
Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berdasarkan kepada hukum. Alangkah bijak, jika ada permasalahan atau sengketa diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum.
Keinginan untuk menjadi warga negara yang taat hukum (law a biding citizen) tentu ada di setiap hati masyarakat. Berbekal hal itu, kita mampu mewujudkan ketertiban sosial.
Kini yang menjadi kendala, pertama, tidak semua dari warga negara paham akan hukum dan mekanisme untuk menjamin hak-haknya, sehingga perlu ada jasa pendam pingan dari orang-orang atau lembaga yang berkompeten untuk hal tersebut.
Kedua, tidak semua dari masyarakat kita memiliki kemampuan (dana) yang memadai untuk mendanai proses hukum yang mereka hadapi, seperti membayar jasa pemberi bantuan hukum, membayar segala pendanaan selama proses berjalan.
Menjawab permasalahan ini, sejak disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 56, mengatur tentang kewajiban negara untuk menyediakan jasa bantuan bagi masyarakat miskin.
Selain itu, masih banyak lagi undang-undang yang mengatur tentang kewajiban negara dalam penyediaan jasa bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Kesemuanya tersebar di beberapa undang-undang tersebut dan bersifat parsial dan dengan limitasi kasus yang akan diberikan bantuan hukum.
Setelah lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum harapan masyarakat miskin memperoleh hak atas akses keadilan, khususnya hak untuk diperlakukan sama di depan hukum semakin terbuka lebar.
Lahirnya UU ini, segala limitasi dan mekanisme yang rumit terhadap pemberian bantuan hukum dipangkas habis. Tidak hanya orang-orang yang terancam dengan pidana yang di atas lima tahun saja yang berhak mendapatkan bantuan hukum, tetapi semua orang miskin yang berhadapan dengan permasalahan hukum berhak mendapatkan bantuan dan negara wajib menganggarkan pendanaan. Sakadar contoh, Jamal yang berusia kira-kira enam puluh tahun yang berasal dari Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Dia melaporkan permasalahan terkait tidak ada tindak lanjut kasus penganiayaan dan ancaman pembunuhan yang diterimanya dari seorang masyarakat yang merampas kebun karetnya. Kasus dilaporkan Jamal sejak 2010, tetapi hingga belum ada titik terang dan harapan dari pihak kepolisian akan kejelasan kasusnya tersebut.
Berkebalikan dengan perlakuan kepolisian terhadap orang yang merampas tanah Jamal, saat orang tersebut melaporkan Jamal telah melakukan penganiayaan terhadapnya, pihak kepolisian begitu cepat dan sigap memproses masalah dan segera memenjarakan Jamal.
Padahal, dalam konteks ini, Jamal membela diri dari ancaman pembacokan yang akan dilakukan lawannya tersebut. Perlakuan yang diskriminatif terlebih bagi mereka yang cacat (disabilitas) merupakan fenomena penegakkan hukum yang sering ditemui dalam proses hukum di Indonesia.
Keadaan seperti inilah yang membutuhkan pendampingan hukum dari orang-orang yang berkompeten untuk hal ini.
Berkaca dari fenomena dan kondisi ril penegakkan hukum Indonesia yang berat sebelah itu, berdasarkan amanat yang diberikan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011, sangat urgen dibentuknya Peraturan Daerah di tingkat Sumatra Barat terkait pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin.
Sebagai dasar hukum bagi pemenuhan hak-hak masyarakat miskin dalam mengakses hak atas keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum. Agar tidak ada lagi marginalisasi yang terjadi kepada kaum miskin.

Senin, 18 Agustus 2014

Merdeka Tanpa Kemerdekaan


Tidak terasa 17 Agustus semakin dekat itu berarti bahwa kita akan merayakan hari Kemerdekaan Republik   Indonesia  dan kita kembali mengulang perayaan Kemerdekaan setiap  tahunnya.  Tidak terasa sudah 69 (enam puluh sembilan) tahun Tanah Air kita tercinta ini menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Namun pertanyaan yang sering muncul didalam pikiran kita dan juga penulis, apakah Indonesia telah merasakan Kemerdekaan secara penuh? Lagi dan lagi pertanyaan yang sama masih dipertanyakan pada kemerdekaan yang sudah berjalan 69 tahun ini (katanya) tapi lagi dan lagi juga kita belum dapat memecahkan pertanyaan yang ada di benak seluruh masyarakat  Indonesia yang ada ini. Sebenarnya kita sudah merasakan kemerdekaan itu sendiri.Karena paling tidak kita tidak perlu lagi mengangkat senjata untuk berperang melawan penjajah.


Sebelum lebih lanjut, alangkah baiknya kita perlu lagi mengulas dan mengingat lagi apa itu Merdeka” dan ‘Kemerdekaan’. Menurut kamus Bahasa Indonesia, Merdeka ialah bebas dan lepas dari segala macam penjajahan.Macam-macam Penjajahan tersebut bisa berupa Penjajahan Fisik, Ekonomi, Politik dan sebagainya.Merdeka dalam arti hidup bahagia, mencapai kemakmuran, kesejahteraan hidup dan merdeka atas kemenangan Indonesia. Golongan yang beraneka ragam adalah dari berbagai macam suku, budaya, ras maupun agama. Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kemerdekaan memiliki arti ke-mer-de-ka-an, yaitu keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya), atau kebebasan. Kita lihat dari defenisi di atas bahwa kita belum mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Kita mengartikan kata merdeka karena kita tidak lagi perlu menghabiskan tenaga untuk melawan penjajah dan menumpahkan darah sampai rela mati. tetapi apakah secara individual mereka telah merdeka ? Atas pertanyaan ini saya bisa memastikan kata ‘tidak’ untuk menjawabnya. Tidak hanya dari segi ekonomi, kesejahteraan sosial budaya, terlebih dalam hal pendidikan. Makna merdeka secara harfiah pun adalah kebebasan. Anak bangsa mampu mengecap pendidikan sampai ke perguruan tinggi, Pertanyaan lagi apakah kebebasan dalam hal pendidikan sudah didapatkan ? ternyata tidak semua anak bangsa mendapatkan pendidikan yang seharusnya mampu memerdekakan dirinya sendiri maupun bangsa ini. Jangankan untuk menempuh ke perguruan tinggi, pendidikan dasar pun tak dapat dinikmati oleh semua anak. Seperti yang kita ketahui, beberapa daerah pelosok di Sumatera Barat masih banyak warganya yang mengenyam pendidikan hanya sampai pada Sekolah Dasar sangat jauh untuk menuju ke Pendidikan Tinggi. Anak laki-laki disana hanya mampu untuk bertani dan merantau.

Kemerdekaan yang berarti mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan rakyat, mengingat negeri ini memiliki sumberdaya alam yang melimpah. tapi, segala kelimpahan dan kekayaan sumber daya alam tersebut tak dapat dinikmati bahkan menjadi “kutukan” yang membuat rakyat bagai ayam yang mati di lumbung padi. Negara yang subur makmur katanya,tapi rakyatnya tetap tidur menggelandang di trotoar jalan atau di kolong jembatan, menempati gubuk-gubuk reyot di sepanjang bantaran kali kumuh, hidup darurat di sepanjang rel kereta api.dari segi ekonomi pun juga begitu.  Selanjutnya bagaimana dengan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia? Realita Kesejahteraan Sosial saat ini. Sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia para founding father negara ini telah merumuskan sebuah tata nilai dasar yang wajib dijalankan dengan satu tujuan, yaitu kesejahteraan sosial. Tata nilai dasar ini dapat kita lihat di dalam Pancasila, pembukaan UUD 1945, dan Pasal 33 UUD 1945, yang semuanya mewajibkan negara/pemerintah selaku pemilik kekuasaan untuk membentuk suatu tatanan kebijakkan yang mampu memberikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala kebijakkan yang diambil oleh negara/pemerintah wajib ditujukan demi peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan rakyat Indonesia dengan memperhatikan kesejahteraan sosial saat kebijakkan tersebut diambil.

Selayaknya kemerdekaan bukanlah sebuah perayaan dan seremonial saja tetapi juga berharap khususnya kepada pemerintahan agar lebih memperhatikan aspek   ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya agar kita dapat merasakan kemerdekaan yang bukan saja hanya dirayakan setiap 17 Agustus dengan perlombaan seperti makan kerupuk, balap karung, panjat pinang, dan lain sebagainya. Akan tetapi bagaimana mencapai kemerdekaan yang hakiki. Tidak ada orang yang terlantar,tidak ada lagi rakyat miskin,tidak pernah mendengar lagi anak bangsa putus sekolah karena biaya. Dengan kesadaran bersama pun bukan saja pemerintah tapi kita bersama sebagai anak bangsa, sehingga tidak ada lagi kondisi merdeka yang tanpa kemerdekaan.

sumber : Harian Pagi Padang Ekspres tanggal 16 Agustus 2014