Sudah
satu minggu lebih Robbi menghembuskan nafas di kamar mandi ruang tahanan Kantor
Polisi Resort (Polres) Arusoka, Solok. Mengikuti pemberitaan kematian Robbi
membuat penulis teringat kisah film laga “romeo
must die”, karena cinta romeo terhadap juliet menyebabkan romeo menghadapi
pilihan, mati atau berpisah dari juliet. Memang background kedua cerita tersebut berbeda, akan tetapi terdapat
beberapa persamaan yaitu karena cinta maka si pria harus mati. Sebagaimana
diberitakan, Robbi merupakan tersangka dugaan melarikan anak di bawah umur yang
merupakan kekasihnya. Pada awalnya gadis tersebut bertengkar dengan orang
tuanya dan akhirnya minta untuk dilarikan oleh Robbi. Berselang beberapa waktu
kemudian, gadis ditemukan oleh pihak keluarganya berada di rumah salah seorang
temannya. Selanjutnya gadis ditanyai selama beberapa waktu menghilang dia
bersama siapa, gadis mengakui jika selama beberapa hari dia bersama Robbi.
Kondisi ini yang membuat pihak keluarga dari gadis merasa marah dan menyeret
Robbi ke Polres Aru Soka untuk ditahan atas dugaan melarikan anak di bawah umur,
dan berujung pada kematian Robbi pada 17 September 2014.
Kisah
kematian Robbi di Polres Arusoka hanya salah satu kisah kematian tahanan selama
berada dalam proses penyidikan kepolisian. Menurut data dari IPW (Indonesia Police Watch) selama tahun
2013 hingga bulan April 2014 tercatat sebanyak 44 (empat puluh empat) tahanan
yang mati selama proses penahanan ditingkat penyidikan di seluruh jajaran
kepolisian di Inonesia. Pada umumnya kematian tahanan tersebut disebabkan oleh
bunuh diri dan sakit, yang mana untuk bunuh diri terdapat berapa metode seperti
meminum racun dan gantung diri. Diantara kasus kematian tahanan yang cukup
menarik adalah kematian salah seorang pelaku dugaan sodomi terhadap siswa Jakarta Intenational School (JIS) yang
meregang nyawa setelah meminum pembersih lantai dan tersangka dugaan pembunuhan
terhadap sopir taksi ekspress yang ditahan di Polsek Duren Sawit yang ditemukan
gantung diri.
Banyaknya
jumlah kasus kematian tahanan ditingkat kepolisian ini menimbulkan sebuah tanda
tanya, apakah pihak kepolisian terlalu lalai sehingga tidak menerapkan Peraturan
Kapolri No. 14 Tahun 2012 Tentang Menejemen Penyidikan Tindak Pidana, atau
adakah unprocedural conduct yang
menyebabkan kematian tahanan ini. Jika kita merujuk kepada Peraturan Kapolri
No. 14 Tahun 2012, pada Pasal 37 dikatakan bahwa proses penangkapan seorang
tersangka seorang polisi wajib membawa surat perintah penangkapan yang
diserahkan kepada tersangka dan juga keluarga tersangka. Setelah dilakukan
penangkapan, maka dilakukan tindakan penyelidikan/penyidikan, yang mana terhadap
tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana dan demi kepentingan proses hukum
maka pihak kepolisian berhak melakukan penahanan terhadap tersangka. Untuk
penahanan ini, Pasal 43 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 ini mengatur
tentang teknis penahanan, yang mana terhadap tersangka yang dilakukan penahanan
maka penyidik wajib memberikan surat perintah penahanan yang juga ditembuskan
kepada pihak keluarga. Surat perintah penahanan ini ditandatangani oleh penyidik
atau atasan penyidik yang menyidik kasus tersebut, sehingga tanggungjawab atas
kesehatan dan keselamatan tersangka berada di pihak penyidik. Selain itu,
selama proses penahanan di kepolisian ini, pihak penyidik dan juga anggota
kepolisian berkewajiban untuk mengawasi tindakan tersangka dan menjaga jika
sewaktu-waktu kesehatan tersangka memburuk.
Selanjutnya,
dalam meminta keterangan tersangka pada penyidikan Pasal 66 ayat (4) Peraturan
Kapolri ini melarang penyidik “...menggunakan
kekerasan, tekanan atau ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku
sebagai pihak yang akan menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum...”. Ketentuan ini yang selalu
menjadi perdebatan ketika seorang tahanan menemui ajal di dalam tahanan
kepolisian. Pada sisi masyarakat dan human
rights defender memandang bahwa kematian tahanan ini disebabkan oleh tindak
unprocedural conduct berupa kekerasan
yang dilakukan selama proses penyidikan, di sisi lain pihak kepolisian selalu
bertahan dan mencari pembenaran terkait kematian tahanan ini. Sebagai contoh,
dalam kasus kematian kakak beradik Faisal dan Budri M. Zen, pihak kepolisian
mengaburkan kondisi dengan mengatakan bahwa kedua tahanan ini berasal dari
keluarga broken home, sehingga mereka
depresi dan akhirnya memutuskan untuk gantung diri kerika proses penahanan
berlangsung. Untuk kasus kematian Azwar, pihak kepolisian juga berdalih jika
kematian Azwar disebabkan oleh depresi dan berujung pada tindakan bunuh diri.
Sedangkan untuk kasus kematian Robbi di tahanan Polres Arusoka pihak kepolisian
mencoba membangun logika bahwa Robbi melakukan bunuh diri diakibatkan tidak tahan
menanggung malu karena ditahan akibat tindakan melakukan hubungan suami isteri
dengan kekasihnya.
(Opini ini dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspress pada Jumat, 26 September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar