Rabu, 17 Juli 2013

PERANG, HUKUM HUMANITER, DAN PERKEMBANGAN INTERNASIONAL


Peradilan militer harus didasarkan pada perkembangan-perkembangan baru dalam perkembangan hukum humaniter termasuk dalam hal penggunaan kekuatan senjata, perubahan sifat dan bentuk perang, bentuk ancaman, perkembangan teknologi, dan sistem komando, kendali, komunikasi, dan intelijen (command, control, communication, and intelligent, (C3I)).

Prinsip utama dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah bahwa selama perang nilai-nilai kemanusiaan harus dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau menggunakan kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-defence), melainkan untuk membatasi penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak berperang tersebut untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan tujuan militer. Dengan demikian hukum humaniter ditujukan untuk “melindungi beberapa kategori dari orang-orang yang tidak atau tidak lagi turut serta dalam pertempuran serta untuk membatasi alat dan cara berperang”.

Berdasarkan tujuan ini, hukum humaniter mengatur dua hal pokok yaitu: 1). memberikan alasan bahwa suatu perang dapat dijustifikasi yaitu bahwa perang adalah pilihan terakhir (the last resort), sebab atau alasan
yang benar (just cause), didasarkan atas mandat politik (keputusan politik, political authority) yang demokratis, dan untuk tujuan yang benar (right intention); 2). Membatasi penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip proporsionalitas dan diskriminasi (proportionality dan discrimination). Dua hal pokok ini yang kemudian menjadi dasar prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility) yaitu bahwa bahwa seorang komandan mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan hukum
konflik bersenjata atau hukum perang atas dasar dua hal pokok tersebut di atas. Dua prinsip penggunaan senjata ini harus menjadi bagian terpenting dalam hukum peradilan militer yaitu larangan penggunaan senjata yang menyebabkan kerusakan atau penderitaan yang tidak ada kaitan dengan tujuan-tujuan perang dan membedakan sasaran militer (combatants) dan sipil (non-combatants).

1. Prinsip proporsionalitas
Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles). Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”. Jadi yang menjadi inti masalah adalah apakah langkah atau serangan militer dengan menggunakan senjata tertentu proporsional terhadap tujuantujuan untuk memperoleh keunggulan militer. Ketentuan ini masih bisa ditafsirkan secara terbuka; ada yang mengatakan bahwa ketentuan ini tidak melarang penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan luar biasa atau meluas, melainkan hanya penderitaan atau kerusakan yang tidak perlu. Hal ini tentu menimbulkan perdebatan dari sudut pandang atau aspek kemanusiaan yaitu apakah penderitaan itu mencakup aspek fisik atau psikologis dan apakah juga mencakup pengaruh dari penderitaan dan kerusakan tersebut terhadap masyarakat.

Prinsip "unnecessary suffering" juga harus dilihat dengan membandingkan senjata yang dipakai yaitu bahwa "it is unlawful to use a weapon which causes more suffering or injury than another which offers the same or similar military advantages". Tetapi ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh prinsip di atas yaitu masalah ketersediaan senjata dan logistik yang akan dipakai. Juga harus diperhatikan bahwa semakin ke bawah rantai komando, semakin kecil atau terbatas pilihan-pilihan penggunaan senjata. Komandan atau mereka yang berada di jajaran atas rantai komando yang bertanggung jawab dalam merencanakan dan memutuskan operasi militer mempunyai opsi-opsi yang lebih luas dalam menggunakan senjata dibanding prajurit di lapangan. Masalah ini harus menjadi perhatian dalam peradilan militer, terutama ketika seorang prajurit di lapangan menghadapi tuntutan di pangadilan atas tuduhan penggunaan
senjata ilegal dalam suatu operasi militer. Masalah lain yang harus diperhatikan dalam memberi makna prinsip unnecessary suffering adalah apakah senjata itu sendiri ataukah penggunaannya pada situasi tertentu atau khusus yang membuat senjata tersebut dilarang. Kompleksitas lain adalah pada akhirnya sulit membuat penilaian tentang perimbangan atau perbandingan antara tujuan keuntungan-keuntungan militer dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan suatu senjata; serta membandingkan hasil analisa di atas dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan muncul dari penggunaan senjata alternatif.

2. Prinsip diskriminasi
Prinsip diskriminasi mengandung 3 komponen: a). larangan tentang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; b). bahkan jika target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”; c). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas. Selain itu semua senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan sipil harus dilarang. Senjata-senjata yang tingkat akurasinya rendah adalah contoh dari situasi di atas. Misalnya penggunaan Scud dalam Perang Teluk 1991.

Prinsip diskriminasi mengandung dua elemen: absolut dan relatif. Semua obyek sipil HARUS tidak pernah dijadikan sebagai target serangan. Elemen relatif adalah dengan membandingkan antara prinsip diskriminasi dan proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas penggunaan senjata harus selalu memperhatikan keseimbangan antara keuntungan-keuntungan militer dengan jumlah korban sipil yang ditimbulkan. Tetapi jika keuntungan militer tersebut bisa dicapai dengan menggunakan senjata tertentu yang bisa meminimalisir korban sipil dibandingkan dengan senjata yang lain, maka hal ini harus dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mendalam baik pada tingkat persiapan, pelaksanaan, atau bahkan penilaian untuk melihat apakah dalam situasi tertentu seorang komandan mempunyai beberapa opsi yang memungkinkannya untuk memilih penggunaan senjata dengan korban sipil yang minimal.

3. Beberapa prinsip lain yang perlu diperhatikan 
Beberapa prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah: harus memperhatikan masalah lingkungan hidup (environment). Pasal 35 (3) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected to cause widespread, long term and severe damage to the natural environment”. Semula ketentuan ini tidak dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional tentang perang. Tetapi perkembangan baru menunjukkan bahwa prinsip di atas menjadi makin kuat posisinya dalam hukum kebiasaan internasional. Akibatnya, pilihan yang tersedia bagi seorang komandan dalam melakukan operasi militer atau serangan militer harus mencakup analysis tentang kerusakan lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh serangan tersebut. Aspek lingkungan hidup juga menjadi faktor penting dalam melihat masalah proporsionalitas dalam penggunaan senjata. Hal lain adalah larangan penggunaan senjata yang mempunyai akibat berlebihan pada negara netral. Perkembangan baru menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah internasional yang makin kompleks, penggunaan senjata tertentu atau cara berperang tetap dianggap ilegal atau bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atau paling tidak menjadi perdebatan, meskipun hal itu belum atau tidak diatur dalam ketentuan hukum internasional yang sudah ada tentang penggunaan senjata. Hal ini didasarkan atas argumen bahwa: “In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose methods or means of warfare is not unlimited”. Dalam setiap sengketa bersenjata, hak para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk memilih cara dan alat berperang adalah tidak tak terbatas. Dalam kaitan ini muncul beberapa jenis persenjataan yang menjadi isu sentral dalam hukum perang dan aturan tentang penggunaan senjata: Senjata laser, ranjau darat, senjata kimia, senjata nuklir. Tulisan ini tidak akan mengupas secara rinci masalah di atas. Cukup dikemukakan bahwa batasan-batasan penggunaan senjata-senjata tertentu di atas didasarkan pada prinsip bahwa pilihan para pihak yang terlibat konflik untuk menggunakan senjata adalah terbatas karena harus ada pembedaan antara sasaran militer dan sasaran sipil dan harus proporsional untuk menghindari "unnecessary suffering".

4. Pertanggungjawaban komando (command responsibility)
Semua ketentuanketentuan di atas menjadi dasar pemberlakukan prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility). Beberapa hukum humaniter internasional tentang pertanggung jawaban komando tersebut antara lain:

a. Pasal 1 The Hague Regulations

The laws, rights, and duties of wars apply not only to armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the following conditions: 1. to be commanded by a person responsible for his subordinates; 2. to have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance; 3. to carry arms openly; and 4. to conduct their operations in accordance with the laws and customs of war.

b. Pasal 86 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Failure to Act

(1). The High Coontracting Parties and the Parties to the conflicts shall repress grave breaches, and take measures necessary to suppress all other breaches, of the Conventions or this Protocol which result from a failure to act when under a duty to do so.

(2). The fact that a breach of the Conventions or of this Protocol was committed by a subordinate does not absolve his superiors from penal or disciplinary responsibility, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they have not taken all feasible measures within their power to prevent or repress the breach.

Menurut pasal ini seorang komandan harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran atau tindakan kejahatan dalam konflik bersenjata justru karena ia TIDAK melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.

c. Pasal 87 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Duty of Commanders

(1). The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall require military commanders, with respect to members of the armed forces under their command and other persons under their control, to prevent and where necessary to, to suppress and report to competent authorities breaches of the Conventions and this Protocol;

(2) In order to prevent and suppress the breaches, High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require that, commensurate with their level of responsibility, commanders ensure that members of their armed forces under their command are aware of their obligations under the Conventions and this Protocol;

(3). The High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require any commander who is aware that subordinates or other persons under his control are going to commit or have committed a breach of the Conventions or of this Protocol, to initiate such steps as are necessary to prevent such violations of the Conventions or of this Protocol, and where appropriate, to initiate disciplinary or penal action against violator thereof.

d. Pasal 28 Statuta Roma Tahun 1998

A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where:

(a). That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that forces were committing or about to commit such crimes and;

(b). That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation of prosecution.

Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban komando di atas mengandung 3 aspek penting yang harus dipenuhi untuk menentukan seorang perwira atau komandan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan bawahannya :

1. ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb.

2. atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahan.

3. komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang berwenang.

Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas tindakan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa:

1. prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh.

2. atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat tindak kejahatan tersebut berlangsung.

3. atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.

4. atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice).

5. atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar